Sabtu 23 Oct 2021 16:41 WIB

Myanmar Kecam ASEAN tak Undang Pemimpin Junta ke KTT

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN dijadwalkan berlangsung pada 26-28 Oktober.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Ribuat ASEAN versus Myanmar.
Foto: AP/Reuters
Ribuat ASEAN versus Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pemerintah militer Myanmar mengecam keputusan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara yang tidak mengundang pemimpin junta ke pertemuan puncak regional. Kementerian Luar Negeri pemerintahan militer Myanmar mengatakan, kepala negara atau pemerintah Myanmar menikmati hak yang sama untuk berpartisipasi dalam pertemuan puncak 10 negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

“Myanmar tidak akan berada dalam posisi untuk menerima hasil apapun dari diskusi dan keputusan yang bertentangan dengan ketentuan, tujuan dan prinsip-prinsip Piagam ASEAN,” kata pernyataan Kementerian Luar Negeri, dilansir Aljazirah, Sabtu (23/10).

Baca Juga

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN dijadwalkan berlangsung pada 26-28 Oktober. Tekanan internasional telah meningkat kepada ASEAN untuk bertindak lebih keras terhadap krisis di Myanmar sejak kudeta militer pada 1 Februari lalu. Myanmar gagal mengambil langkah-langkah yang telah disepakati untuk mengakhiri kekerasan, mengizinkan akses kemanusiaan, dan memulai dialog sesuai dengan konsensus ASEAN yang dicapai pada April lalu.

Pemimpin junta tidak diundang karena kurangnya kemajuan dalam rencana perdamaian yang disepakati dengan ASEAN pada April lalu. Sebagai gantinya, ASEAN mengundang seorang tokoh non-politik Myanmar dalam KTT tersebut.

Keputusan ini merupakan langkah berani ASEAN, yang secara tradisional lebih menyukai konsensus dan keterlibatan daripada kritik terhadap negara-negara anggota. Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah mengatakan, ASEAN harus memikirkan kembali kebijakan non-intervensi, di tengah memburuknya krisis hak asasi manusia di Myanmar.

"Meskipun masalah di Myanmar bersifat lokal dan nasional, itu berdampak pada kawasan, dan kita juga harus mengakui keprihatinan sembilan negara anggota lainnya,” ujar Saifuddin.

Saifuddin mengatakan, non-intervensi telah berkontribusi pada ketidakmampuan ASEAN untuk membuat keputusan yang efektif dengan cepat. Dia menyarankan langkah menuju kebijakan baru dengan keterlibatan konstruktif. “Dan saya juga menyatakan fakta bahwa kita tidak dapat menggunakan prinsip non-interferensi sebagai tameng untuk menghindari masalah yang ditangani,” kata Saifuddin.

Pernyataan Saifuddin ini merupakan kritik yang jarang dilakukan oleh menteri luar negeri ASEAN terhadap salah satu negara anggota. Seorang juru bicara junta menyalahkan keputusan ASEAN pada intervensi asing, termasuk oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa.  

Sementara itu, Pelapor Khusus PBB untuk situasi hak asasi manusia di Myanmar, Tom Andrews, mendesak PBB untuk mengeluarkan resolusi yang melarang penjualan senjata ke Myanmar. Andrews juga menyerukan sanksi kepada perusahaan minyak dan gas Myanmar, yang merupakan sumber pendapatan terbesar bagi pemerintah militer.

 “Tindakan ini diperlukan karena senjata dan teknologi penggunaan ganda terus dijual dan dikirim ke junta,” kata Andrews.

Andrews juga memperingatkan kemungkinan lebih banyak pertumpahan darah di Myanmar. Karena militer memindahkan puluhan ribu tentara, persenjataan berat, dan aset militer lainnya ke wilayah utara yang merupakan basis kelompok pemberontak anti-junta  “Sayangnya, kita kemungkinan akan menghadapi bencana lain, termasuk hilangnya nyawa orang tak berdosa, dan pelanggaran hak asasi manusia yang lebih banyak lagi,” ujar Andrews.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement