REPUBLIKA.CO.ID,KUALA LUMPUR — Myanmar telah dikecualikan dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asean yang ke-38 dan 39 pekan depan. Langkah ini dinilai penting untuk memberikan ruang bagi negara tersebut, dalam hal mengatasi konflik internal yang tengah terjadi.
Meski demikian, sejumlah pengamat mengatakan bahwa hal tersebut tidak membantu menyelesaikan penderitaan warga Rohingya di Myanmar. Disebutkan bahwa seharusnya Asean berbuat lebih banyak untuk membantu salah satu komunitas yang paling teraniaya di dunia tersebut.
Presiden Organisasi Rohingya Burma Inggris yang berbasis di London, Tun Khin, mengatakan langkah Asean belum pernah terjadi sebelumnya terhadap militer Myanmar yang melakukan kudeta terhadap pemerintah sipil pada 1 Februari lalu. Langkah ini merupakan kabar baik, meski tindakan lebih lanjut terhadap salah satu etnis minoritas yang menderita di negara itu juga harus dilakukan.
“Asean harus melangkah lebih jauh,” ujar Khin, dilansir Bernama, Sabtu (23/10).
Para menteri luar negeri dari Asean dalam pertemuan darurat pada 15 Oktober lalu setuju untuk mengecualikan Myanmar dari KTT yang dilangsungkan pada 26 hingga 28 Oktober mendatang. Hanya perwakilan non-politik dari negara tersebut yang akan diundang untuk menghadiri acara.
Permintaan pemerintah bayangan Myanmar, Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), untuk bergabung dalam KTT tersebut juga ditolak oleh Asean. Militer Myanmar mengeluarkan pernyataan terkait kekecewaan atas pengecualian tersebut.
Sementara, dalam masalah Rohingya, jauh sebelum kudeta, etnis ini telah hidup dalam penderitaan, di mana penolakan terhadap kewarganegaraannya oleh Pemerintah Myanmar terjadi. Demikian dengan hak-hak kemanusiaan yang nampaknya tidak diakui dengan baik, membuat warga mayoritas Muslim ini harus menghadapi berbagai konflik dan kekerasan dari pihak berwenang.
Sumber:
https://www.bernama.com/en/world/news.php?id=2016053