REPUBLIKA.CO.ID, WINA – Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengatakan Iran telah melakukan pengayaan uranium hingga 60 persen di situs Natanz. Ambang batas yang seharusnya dipatuhi Iran adalah 20 persen.
Langkah tersebut kemungkinan akan membantu Iran menyempurnakan pengetahuannya tentang pengayaan uranium. Aktivitas semacam itu umumnya dikecam negara-negara Barat. Namun karena kali ini produk tidak dikumpulkan, hal itu tidak akan segera mempercepat produksi uranium yang diperkaya untuk keperluan pengembangan senjata.
Bertolak dari hal tersebut, IAEA berkeinginan meningkatkan frekuensi dan intensitas kegiatan pengamanannya di Pilot Fuel Enrichment Plant (PFEP) yang berlokasi di Natanz. Menurut IAEA, pekan lalu Iran memberi tahu mereka tentang perubahan pada pengaturan sentrifugal, yakni mesin yang digunakan untuk memperkaya uranium, di situsnya.
Iran akan menyuplai uranium yang diperkaya hingga 20 persen ke dalam jumlah terbatas sentrifugal tambahan tanpa mengumpulkan produk. "Pada 25 Oktober 2021, IAEA memverifikasi Iran mulai menyuplai (gas uranium hexafluoride) yang diperkaya hingga 20 persen U-235 ke dalam satu sentrifugal IR-6 di R&D line 2 di PFEP dan bahwa produk yang dihasilkan dan aliran ekor sedang digabungkan," kata IAEA dalam laporannya, Senin (26/10).
Menurut IAEA, Iran juga berencana menyuplai uranium yang diperkaya hingga 20 persen ke dalam sentrifugal tunggal lainnya atau kaskade, yakni mesin berukuran kecil hingga menengah pada jalur sama. Namun mereka tidak disuplai pada saat itu.
Saat ini Iran sebenarnya sedang terlibat dalam pembicaraan pemulihan kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang sudah berlangsung beberapa putaran di Wina, Swiss. Namun, pembicaraan itu belum dilanjutkan kembali sejak Iran menghelat pemilihan presiden beberapa waktu lalu.
JCPOA disepakati pada 2015 antara Iran dan negara kekuatan dunia, yakni AS, Prancis, Inggris, Jerman, Rusia, serta China. Kesepakatan itu mengatur tentang pembatasan aktivitas atau program nuklir Iran. Sebagai imbalannya, sanksi asing, termasuk embargo terhadap Teheran, dicabut.
Namun JCPOA retak dan terancam bubar setelah mantan presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan tersebut pada November 2018. Trump berpandangan JCPOA "cacat" karena tak turut mengatur tentang program rudal balistik dan peran Iran di kawasan.
Trump kemudian memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran. Sejak saat itu Iran tak mematuhi ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam JCPOA termasuk perihal pengayaan uranium.