REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, mengomentari aksi saling sindir antara PDIP dan Partai Demokrat. Menurutnya, hal itu dilatarbelakangi dendam lama pimilihan presiden 2004 yang terus terbawa hingga kini.
"Sepertinya akan sulit damai. Karena kedua partai tersebut kini sudah seperti Tom and Jerry," kata Ujang Kepada Republika.co.id, Selasa (2/11).
Ia menilai, tak harmonisnya hubungan PDIP dan Partai Demokrat akan berlangsung lama. Dampaknya, hubungan politik semacam itu justru tak sehat bagi rakyat. "Ini dendam yang tak pernah usai dan bisa saja akan dibawa mati," ujarnya.
Namun demikian, perdamaian bukan tidak mungkin bisa terjadi antarkeduanya. Damai bisa terjadi jika keduanya sama-sama mau dan sama-sama melakukan perjanjian dan komitmen bersama. "Mestinya antar pemimpin memiliki jiwa sebagai negarawan. Dan saling memaafkan," ucapnya.
Baca juga:
- Demokrat Serang Balik Hasto: Manusia Ahistoris, Caleg Gagal
- Demokrat: SBY Bapak Bansos, Kader PDIP Koruptor Bansos
Sebelumnya, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengaku bangga dengan apresiasi dunia terhadap Presiden Jokowi. Presiden Jokowi sebagai pemimpin juga turun ke bawah, melihat akar persoalan pokok dari Covid-19 mencari solusi dimulai dari refocusing anggaran, kebijakan penyeimbang antara pembatasan sosial dan pertumbuhan ekonomi serta terdepan dalam pengadaan vaksin.
"Pak Jokowi punya kelebihan dibanding pemimpin yang lain. Beliau adalah sosok yang turun ke bawah, yang terus memberikan direction, mengadakan ratas (rapat kabinet terbatas) dan kemudian diambil keputusan di rapat kabinet terbatas. Berbeda dengan pemerintahan 10 tahun sebelumnya, terlalu banyak rapat tidak mengambil keputusan," kata Hasto dalam Webinar Kamis (21/10).
Pernyataan Hasto itu pun direspon Partai Demokrat. Deputi Bappilu Partai Demokrat, Kamhar Lakumani, mengatakan pernyataan tersebut salah sasaran jika dialamatkan kepada SBY. "Entahlah jika itu dimaksudkan kepada presiden terdahulu sebelum Pak SBY. Merujuk pada testimoni Pak JK (Jusuf Kalla) yang pernah menjadi Wakil Presiden Pak SBY dan juga pernah menjadi Wapres Pak Jokowi bahwa di zaman SBY lebih ringkas, lebih terarah, dan lebih cepat dalam mengambil keputusan. Kalau zamannya Pak Jokowi, semua soal dirapatkan. Jadi dalam sepekan rapatnya bisa empat sampai lima kali," ungkap Kamhar.
Tidak berhenti di situ saling sindir kembali terjadi. Hasto Kristiyanto kembali menyindir masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hasto mengatakan, kebijakan politik populis pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terutama politik bantuan sosial (bansos) yang menurutnya justru menjadi beban bagi keuangan negara.
"Menurut Marcus Mietzner dari bulan Juni 2008 sampai Februari 2009, Pak SBY itu membelanjakan 2 miliar US dollar untuk politic populism. Ini kan beban bagi APBN ke depan," ujar Hasto dalam diskusi yang digelar Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, Senin (1/11).
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) membela sang ayah dan meminta semua pihak untuk menghargai kerja keras semua pemimpin Indonesia. AHY menyampaikan bahwa tantangan tiap zaman berbeda-beda. Oleh karena itu, tiap pemimpin diharapkan mampu menjawab tantangan sesuai zamannya.
"Tiap masa ada tantangan dan pemimpinnya. Setiap pemimpin ada masa dan tantangannya," kata AHY dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Senin (1/11).
AHY juga mengingatkan agar selalu menghargai kepemimpinan di Indonesia sebelumnya. Menurutnya, apa yang dirasakan masyarakat sekarang merupakan buah kerja kepemimpinan sebelummya. "Apa yang kita dapatkan hari ini adalah hasil kerja keras generasi terdahulu," ujar AHY.