REPUBLIKA.CO.ID, oleh Imas Damayanti, Andrian Saputra, Nawir Arsyad Akbar, Fuji Eka Permana, Antara
Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dan Kjahatan seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi menuai pro-kontra terkait frasa, "Tanpa persetujuan korban" yang dinilai sebagian kalangan bertentangan dengan nilai dan norma yang dianut di Indonesia. Namun, Mendikbudristek Nadiem Makarim menegaskan bahwa dirinya telah memperhatikan norma-norma agama dan kebangsaan dalam menerbitkan beleid tersebut.
Nadiem mengakui, seusai Permendikbudristek PPKS diterbitkan, ia menerima banyak dukungan maupun kritik atas regulasi tersebut. Ia pun apreasiasi kepada pihak yang pro maupun kontra terhadap Permendikbudristek 30/2021. Selain itu, pihaknya juga mengaku telah memonitor setiap masukan dan menyerap masukan-masukan dari beragam kalangan, termasuk akademisi.
“Saya rasa ada satu hal yang perlu diluruskan bahwa Kemendikbud sama sekali tidak mendukung sesuatu apa pun yang tidak berlandaskan pada norma agama. Permen 30 ini sudah berlandaskan dan memperhatikan norma-norma agama,” kata Nadiem dalam webinar bertajuk ‘Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual’, Jumat (12/11).
Dia menambahkan, target Permen 30/2021 ini adalah untuk melindungi ratusan ribu korban kekerasan seksual dan upaya untuk mencegah terjadinya kontuinasi kejahatan tersebut di lingkup pendidikan. Dia pun menyadari bahwa, atas dukungan serta masukan atas terbitnya permen tersebut, pihaknya akan terbuka untuk menyerap masukan.
“Kami akan menggunakan beberapa bulan ke depan ini untuk jalan (menjalankan Permen 30/2021), bersama-sama dengan menyerap masukan dari kalangan ormas, mahasiswa, dosen, dan tentunya perguruan tinggi,” kata Nadiem.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menegaskan, Kementerian Agama (Kemenag) memberikan dukungan terhadap Permendikbudristek PPKS.
“Saya sejak awal bertemu dengan Mas Menteri (Nadiem) dengan yakin memberikan dukungan penuh. Karena ini adalah kebijakan aturan yang revolusioner yang dapat membongkar kejahatan seksual di perguruan tinggi dan ranah pendidikan kita,” kata Yaqut, Jumat.
Sebab, menurutnya problem kekerasan seksual di perguruan tinggi itu bukan hanya problem Kemendikbud Ristek. Akan tetapi juga problem Kementerian Agama, terutama Pendidikan Tinggi Keagamaan di bawah Kemenag.
"Tentu saya berharap dengan regulasi ini dunia perguruan tinggi benar-benar menjadi panutan dan bisa menjadi duta antikekerasan seksual maupun kekerasan lainnya. Sehingga, lingkungan kampus mereka benar-benar merdeka dari kekerasan," katanya.