REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Pengambilalihan pemerintahan oleh Taliban di Afghanistan masih menyisakan ketakutan dan kekhawatiran. Terutama para atlet wanita Afghanistan yang sebelumnya menjadi simbol perlawanan dan pemberdayaan.
Dilansir dari The New Arab, Kamis (11/11), sebuah laporan menyebut Taliban pergi dari pintu ke pintu, mencari atlet wanita dan pemain olahraga terkemuka. Khawatir akan kembalinya kekuasaan Taliban yang keras dua dekade lalu, banyak yang membakar peralatan dan piala mereka, menghilangkan semua jejak kehidupan olahraga mereka.
Seorang atlet, Seema Rezai yang merupakan anggota tim tinju nasional Afghanistan bisa pergi ke Qatar. Rezai menolak berhenti berlatih ketika Taliban kembali berkuasa.
“Saya mulai bertinju pada usia 18 tahun tanpa izin keluarga saya. Saya harus menyembunyikan apa yang saya lakukan selama bertahun-tahun. Ketika Taliban memasuki Kabul, saya menolak membiarkan semua yang telah saya kerjakan diambil,” ujarnya.
"Olahraga hanyalah salah satu dari banyak hak perempuan yang hilang sejak Taliban kembali berkuasa. Meskipun awalnya mempertimbangkan nada yang lebih rekonsiliasi, termasuk janji untuk memoderasi perilakunya, kelompok itu hanya menunjukkan sedikit bukti reformasi,” tambahnya.
Dibantu oleh pasukan bantuan Barat, Rezai berhasil keluar, tetapi keluarganya tetap berada di Afghanistan dan dalam ancaman bahaya. Sekelompok pekerja bantuan dan pensiunan atlet membantu anggota tim bersepeda, sepak bola, dan kriket Afghanistan yang melarikan diri ke negara-negara tetangga. Dari sana, mereka akan pergi ke AS, Kanada, dan Australia.
Tetapi banyak atlet wanita tetap berada di Afghanistan. Salah satu anggota tim bersepeda provinsi, yang berbicara dengan syarat anonim karena masalah keamanan, merasa masa depannya telah hancur.
“Saya telah kehilangan segalanya. Taliban telah mengakhiri impian saya berkompetisi secara internasional dan suatu hari nanti mewakili negara saya. Bahkan sebelum mereka berkuasa, banyak orang tidak menerima gadis-gadis yang mengendarai sepeda. Butuh waktu bertahun-tahun untuk membujuk keluarga saya agar mengizinkan saya bersepeda. Saya mencoba segalanya untuk meninggalkan negara ini untuk bisa berkendara lagi,” katanya.
Ribuan atlet wanita yang ditinggalkan menghadapi masa depan yang jauh lebih suram. Yang tersisa hanyalah harapan bahwa generasi berikutnya akan diizinkan bermain olahraga.