REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) menangguhkan penyelidikan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia, selama operasi penumpasan narkoba di bawah perintah Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Dokumen pengadilan yang dirilis oleh ICC dan dikonfirmasi oleh pejabat Filipina pada Sabtu (20/11), menunjukkan, Manila mengajukan permintaan penangguhan pada 10 November.
"Jaksa untuk sementara menangguhkan kegiatan investigasinya, sembari menilai ruang lingkup dan efek dari permintaan penangguhan," tulis Kepala Jaksa ICC Karim Khan.
Pemerintah dapat meminta ICC untuk menunda sebuah kasus, jika mereka melaksanakan penyelidikan dan penuntutan mereka sendiri untuk tindakan sama. Duterte menarik Filipina keluar dari ICC pada 2018.
Dia mengatakan pengadilan internasional tidak memiliki yurisdiksi untuk mendakwa dirinya. ICC mempertahankan yurisdiksinya untuk menyelidiki kejahatan pada periode ketika Manila menjadi anggota hingga 2019. Permintaan penangguhan tersebut, mengikuti pernyataan pemerintah Duterte yang kerap mengatakan bahwa, mereka tidak akan bekerja sama dengan ICC.
“Kami menyambut kehati-hatian jaksa ICC yang telah menganggapnya tepat untuk memberikan tampilan baru pada masalah ini, dan kami percaya bahwa masalah ini akan diselesaikan demi pembebasan pemerintah kami dan pengakuan atas semangat sistem peradilan kami," ujar penjabat juru bicara Duterte, Karlo Nograles.
Sebuah kelompok pengacara Filipina meminta ICC untuk tidak menghilangkan secercah harapan bagi keluarga korban perang narkoba. Persatuan Pengacara Rakyat Nasional, yang mewakili beberapa keluarga korban mengatakan, sistem peradilan Filipina sangat lambat dan tidak tersedia bagi mayoritas korban yang miskin dan tidak terwakili.
"Kami meminta ICC untuk tidak membiarkan dirinya terpengaruh oleh klaim yang sekarang dibuat oleh pemerintahan Duterte,” ujar Persatuan Pengacara Rakyat Nasional.