Kamis 25 Nov 2021 14:46 WIB

Pimpinan Komisi II: Pemilu 5 Kotak Harus Dikoreksi

Pemilih pilih capres, DPD, DPR, DPRD wilayah dalam sekali proses pencoblosan.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Ratna Puspita
Wakil Ketua Komisi II DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim mengatakan, pemilihan umum (Pemilu) serentak pada 2019 harus dievaluasi. (Foto: Luqman Hakim)
Foto: Istimewa
Wakil Ketua Komisi II DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim mengatakan, pemilihan umum (Pemilu) serentak pada 2019 harus dievaluasi. (Foto: Luqman Hakim)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi II DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim mengatakan, pemilihan umum (Pemilu) serentak pada 2019 harus dievaluasi. Khususnya, pemilihan lima kotak yang dilakukan sekaligus dalam sehari.

"Pelaksanaan pemilu lima kotak seperti yang kita praktekkan tahun 2019, memang harus dikoreksi. Agar tujuan Pemilu sebagai sarana konstitusional pelaksanaan kedaulatan rakyat, dapat sungguh-sungguh dicapai," ujar Luqman saat dihubungi, Kamis (25/11).

Baca Juga

Ia mengatakan, pemilu lima kotak dalam sehari terlalu rumit bagi masyarakat. Sebab, pemilih harus memilih capres, DPD, DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dalam sekali proses pencoblosan.

"Pemilih banyak yang bingung, akibatnya banyak kertas suara yang tidak dicoblos atau kalaupun dicoblos, tidak memenuhi ketentuan sehingga dinyatakan rusak atau tidak sah," ujar Luqman.

Bagi penyelenggara Pemilu, ia mengatakan, pemilihan lima kotak dalam sehari juga akan membebani mereka. Terutama dalam proses penghitungan yang dilakukan oleh kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS).

"Terbukti pada pemilu 2019, hampir seribu petugas KPPS meninggal dunia dan ribuan lainnya jatuh sakit," ujar politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu (PKB).

Ia mengusulkan adanya pemisahan pemilu nasional dan lokal. Pemilu nasional untuk memilih presiden, DPR, dan DPD. Dalam jeda waktu dua sampai 2,5 tahun, ada pemilu lokal untuk memilih DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, gubernur/wagub, bupati/wabup atau wali kota.

"Pola pemilu lokal nasional dan berjarak waktunya ini, juga bermanfaat bagi rakyat untuk memberi penilaian di pertengahan pemerintahan pusat yang terbentuk dari pemilu nasional," ujar Luqman.

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Pasal 167 ayat 3 dan Pasal 347 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait keserentakan pemungutan suara pemilu. Para pemohon gugatan ini pada dasarnya ingin pemilihan presiden/wakil presiden, anggota DPR RI, serta anggota DPD RI tidak dibarengi dengan pemilihan anggota DPRD provinsi maupun kabupaten/kota karena alasan beban kerja penyelenggara pemilu yang berat.

"Mengadili, dalam provisi, menolak permohonan provisi para pemohon, dalam pokok permohonan, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK RI Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan perkara nomor 16/PUU-XIX/2021, Rabu (24/11). 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement