REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengatakan raksasa teknologi seperti perusahaan induk Facebook, Meta dan pemimpin dunia harus bertindak 'lebih banyak' dalam menghilangkan ekstremisme kekerasan dan radikalisasi di internet.
Ardern dan Presiden Prancis Emmanuel Macron meluncurkan inisiatif global untuk mengakhiri kejahatan kebencian daring pada 2019 lalu. Setelah teroris kulit putih membunuh 51 Muslim di dua masjid di Kota Christchurch, Selandia Baru.
Pelaku menyiarkan aksinya secara langsung di media sosial Facebook. Inisiatif yang dinamakan Christchurch Call itu didukung 50 negara, organisasi internasional dan perusahaan teknologi seperti Facebook, Google, Twitter dan Microsoft.
Ardern mengatakan inisiatif itu berhasil meraih target pertamanya yakni membentuk protokol krisis. Di antaranya berupa jaringan 24 jam antara platform untuk menghapus konten kebencian dengan cepat, dalam merespon peristiwa seperti yang terjadi di Christchurch. "Kami telah melakukan pengujian yang menitik beratkan seperti dunia nyata pada sistem itu dan sistem tersebut bekerja dengan sangat efektif," kata Ardern, Jumat (26/11).
"Saya yakin kami akan beroperasi lebih efektif lagi dibandingkan sebelumnya, tapi tantangan berikutnya, untuk melangkah lebih jauh lagi," tambahnya.
Dalam wawancaranya dengan kantor berita Reuters, Ardern ditanya apa yang perlu dilakukan perusahaan perusahaan teknologi. "Bertindak lebih banyak," jawabnya.
Ardern mengatakan langkah selanjutnya adalah fokus pada pencegahan, mencari tahu bagaimana orang menemukan konten kebencian atau bermotif teror di internet. Serta menjadi radikal. "Di situlah kami benar-benar tertarik pada pekerjaan yang sedang dilakukan pada algoritma dan peran yang kita semua dapat mainkan untuk memastikan platform daring tidak menjadi tempat radikalisasi," katanya.