Jumat 03 Dec 2021 14:32 WIB

Risma Mengaku Tulus, Ajak Kelompok Difabel tak Menyerah

Menurut Risma, respons penyandang disabilitas sangat penting.

Red: Indira Rezkisari
Menteri Sosial Tri Rismaharini (kedua dari kiri) dalam acara peringatan Hari Disabilitas Internasional 2021 di kantor Kementerian Sosial, Jakarta, Rabu (1/12).
Foto:

Sebelumnya diketahui, Rabu (1/12), Risma memaksa seorang anak penyandang disabilitas rungu berbicara di hadapan khalayak ramai saat acara peringatan Hari Disabilitas Internasional di kantor Kemensos, Jakarta. Alhasil, seorang anak disabilitas bernama Stefanus langsung meluncurkan protesnya di hadapan Risma.  

Stefanus mengaku kaget melihat Risma memaksa anak tuli untuk berbicara. Dia pun menjelaskan bahwa anak tuli memiliki kemampuan berbicara beragam. Dan, anak tuli tidak boleh dipaksa berbicara.

Risma seketika memberikan penjelasan kepada Stefanus. “Kenapa ibu paksa kalian untuk bicara? Ibu paksa memang, supaya kita bisa memaksimalkan pemberian Tuhan kepada kita. Mulut, mata, telinga. Tapi saya berharap kita semua bisa mencoba,” ujar Risma.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ace Hasan, menilai perilaku Risma yang memaksa anak tuli berbicara sebagai pernyataan ironis. "Saya tidak mau berkomentar lebih jauh terkait peristiwa itu, kecuali hanya bisa berkata: ironis," kata Ace kepada Republika, Jumat (3/12).

Ia mengatakan menghargai dan menghormati keterbatasan yang diberikan Tuhan kepada orang lain adalah sebuah keharusan bagi siapa saja. Tidak semestinya memaksakan orang yang memiliki keterbatasan fisik, sesuai dengan kemampuan fisik secara normal.

"Hari Disabilitas Internasional 2021 seharusnya dijadikan sebagai momen untuk menghormati dan menghargai kelompok disabilitas. Bahkan negara harus hadir memberikan pelayanan agar mereka tetap memiliki keberfungsian sosial seperti halnya manusia normal," ujarnya.

Politikus Partai Golkar itu mengatakan para penyandang disabilitas berhak untuk hidup sebagaimana layaknya manusia yang normal dengan keterbatasan fisik yang dimilikinya. Bukan dengan 'dipaksa' untuk bisa layaknya manusia yang bicara dengan kemampuan normal.

"Tugas negara jelas, memastikan agar kelompok disabilitas ini dapat hidup sebagaimana warga negara biasa. Disfungsi fisik yang dialaminya harus mendapatkan pelayanan yang sama di mata negara. Bukan dipaksa supaya normal," tuturnya.

"Mereka juga pasti ingin bicara seperti halnya manusia yang bisa berkomunikasi secara normal. Namun keterbatasan untuk bicara tak bisa dipaksa," imbuhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement