REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia (APBI) mengaku keberatan terhadap kebijakan larangan ekspor oleh Kementerian ESDM. Ketua Umum APBI, Pandu Sjahrir juga mengatakan kebijakan larangan ekspor ini bahkan sangat mengejutkan dan mendadak.
"Kebijakan diambil secara tergesa gesa dan tanpa dibahas dengan pelaku usaha. Kami menyatakan keberatan dan meminta Menteri ESDM untuk segera mencabut kebijakan tersebut," ujar Pandu, Sabtu (1/1).
Menurut Pandu, jika alasan pemerintah melarang ekspor batu bara karena persoalan pasokan ke PLN mengalami kritis mestinya bisa dibicarakan oleh para pelaku usaha. Apalagi menurut Pandu, persoalan pasokan sangat erat kaitannya dengan kontrak antara PLN dengan para pelaku usaha.
"Pasokan batu bara ke masing-masing PLTU, baik yang ada di bawah manajemen operasi PLN maupun IPP, sangat bergantung pada kontrak-kontrak penjualan atau pasokan batubara antara PLN dan IPP dengan masing-masing perusahaan pemasok batubara," ujar Pandu.
Disatu sisi, kata Pandu seluruh anggota APBI juga sudah memenuhi ketentuan DMO 25 persen di tahun 2021. "Bahkan sebagian perusahaan telah memasok lebih dari kewajiban DMO tersebut," tambah Pandu.
Pandu mengatakan larangan ekspor ini akan sangat berdampak signifikan terhadap industri batubara. Apalagi, selama ini batubara merupakan salah satu penghasil utama devisa negara.
"Pemerintah akan kehilangan devisa 3 miliar dolar per bulan dan mengurangi PNBP serta royalti yang mana hal ini juga berdampak pada pemerintah daerah," ujar Pandu.
Pandu menilai, mestinya kondisi ini harus dibicarakan oleh Pemerintah dengan para pengusaha. Koordinasi sebelum penentuan kebijakan amatlah penting, kata Pandu.
"Sebagai mitra Pemerintah kami senantiasa mendukung kebijakan dan peraturan yang diterbitkan oleh Pemerintah. Namun tentu saja kami berharap agar bisa dilibatkan atau paling tidak diminta klarifikasi jika ada keluhan yang dialami oleh pihak pengguna batubara domestik termasuk PLN," ujar Pandu.