REPUBLIKA.CO.ID, WINA -- Negosiasi perundingan nuklir Iran di Wina kembali dilanjutkan setelah sempat terhenti selama satu tahun. Negosiasi ini untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir Iran 2015 yang dikenal sebagai Joint Comprehensive Plan of Action.
Dikutip dari Voice of America pada Senin (3/1), juru bicara Kementerian Luar Negeri iran mengatakan pembicaraan 'memasukkan tahap mendalam'. Walaupun Iran maupun Amerika Serikat (AS) mengatakan terdapat kemajuan dalam negosiasi ini, tapi Iran mengkritik apa yang mereka sebut 'tuntutan maksimal' dari AS. Sementara pekan lalu juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan masih terlalu dini untuk mengatakan apakah Iran mengikuti 'pendekatan yang lebih konstruktif' pada putaran negosiasi kali ini.
Kedua belah pihak memberi sinyal kesediaan mereka untuk kembali bergabung dengan JCPOA. Dalam negosiasi yang digelar bulan April tahun lalu negara lain yang turut menandatangani JCPOA sepakat menjadi perantara antara AS dan Iran dalam perundingan tak langsung.
Di bawah pemerintahan mantan presiden Donald Trump, AS mundur dari JCPOA pada 2018 lalu. Kemudian memberlakukan sanksi-sanksi ekonomi pada Iran yang sebelumnya dicabut dengan ganti Teheran menghentikan program nuklirnya.
Iran membalas langkah AS itu dengan melanggar sejumlah ketentuan JCPOA. Iran menumpuk uranium di atas batas yang ditentukan, memperkaya uranium hingga ke tingkat yang lebih tinggi, dan menggunakan sentrifugal yang lebih canggih.
Pada Jumat (31/12) lalu Prancis mengecam peluncuran roket satelit Iran. Paris mengatakan peluncuran tersebut melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB dan 'sangat amat disesalkan' dilakukan di saat perundingan Wina mengalami kemajuan.