Rabu 26 Jan 2022 17:09 WIB

Pelaksanaan PTM 100 Persen Bebani Psikologis Guru dan Orang Tua

Sekolah tidak akan efektif karena terus buka tutup saat penemuan kasus Covid-19.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ilham Tirta
Satriwan Salim (kiri).
Foto: Republika/Prayogi
Satriwan Salim (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) 100 persen di tengah gelombang baru Covid-19 membebani psikologis guru dan orang tua. Situasi itu juga dinilai berdampak pada kenyamanan belajar para peserta didik di sekolah.

"Coba rasakan, bagaimana guru, siswa berinteraksi kayak sekolah normal, sebab 100 persen siswa masuk setiap hari. Sementara itu, angka kasus meningkat tajam tiap hari. Ini mengganggu pikiran dan kenyamanan belajar di sekolah," ungkap Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim kepada Republika.co.id, Rabu (26/1/202).

Baca Juga

Satriwan mengungkapkan, berdasarkan data yang dihimpun P2G, ada beberapa sekolah di DKI Jakarta yang sudah menghentikan PTM 100 persennya sebanyak dua kali. Penghentian pelaksanaan PTM 100 persen itu bahkan hanya berjarak dua pekan saja karena siswa dan gurunya kembali ditemukan ada yang positif Covid-19.

"Ada beberapa sekolah semula PTM 100 persen, lalu siswa kena Covid-19, PTM dihentikan 5×24 jam. Setelah itu PTM lagi, setelah beberapa hari PTM, ada siswa positif lagi, terpaksa PTM dihentikan kembali. Ini kan tidak efektif. Sekolah buka tutup, buka tutup terus, enggak tahu sampai kapan," kata Satriwan.

Karena itu, dia menilai pelaksanaan skema PTM 100 persen tidak sepenuhnya aman, lancar, dan efektif. Dia juga menerangkan, P2G masih menemukan banyak pelanggaran PTM 100 persen yang terjadi. Pertama, pelanggaran dalam menjaga jarak sejauh meter di dalam kelas yang sulit dilakukan karena ruang kelas yang relatif kecil ketimbang jumlah siswa.

Lalu, pelanggaran lainnya berupa ruang sirkulasi udara yang tidak ada atau ventilasi udara tidak dibuka karena kelas ber-AC, siswa berkerumun, dan melakukan kumpul-kumpul atau nongkrong bersama sepulang sekolah, dan masih ada kantin sekolah buka secara diam-diam. Dia menilai, kondisi itu terjadi akibat pengawasan yang lemah dari Satgas Covid-19 termasuk dinas terkait.

"Kedisiplinan terhadap prokes harus terus digaungkan, mulai dari rumah, di jalan, angkutan umum, di sekolah, dan pulang sekolah," kata Satriwan.

Berdasarkan kondisi itu, P2G mendesak Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Anies Baswedan, termasuk kepala daerah sekitar daerah aglomerasi menghentikan skema PTM 100 persen. Menurut Satriwan, langkah tersebut perlu diambil demi keselamatan dan kesehatan semua warga sekolah.

"Kami memohon agar Pak Anies mengembalikan kepada skema PTM Terbatas 50 persen. Dengan metode belajar blended learning, sebagian siswa belajar dari rumah, dan sebagian dari sekolah. Metode ini cukup efektif mencegah learning loss sekaligus life loss," ujar dia.

Lagipula, tambah Satriwan, guru-guru dan siswa di DKI Jakarta sudah berpengalaman menggunakan skema PTM terbatas 50 persen dengan metode campuran tersebut. Para guru dan siswa disebut rata-rata sudah memiliki gawai pintar, bahkan laptop/komputer, sinyal internet bagus, relatif tak ada kendala dari aspek infrastruktur digital.

"Tentu dengan catatan, ada pendampingan orang tua dari rumah selama anak PJJ," kata Satriwan.

Sebelumnya, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria mengungkapkan, ada penambahan penutupan sekolah di DKI sebanyak 90 lokasi hingga Selasa (25/1/2022) malam kemarin. Menurut dia, rekapitulasi tersebut mencakup lima wilayah kota administrasi DKI.

“Total sekolah yang ditemukan kasus positif sebanyak 90 sekolah,” jawaban Riza kepada awak media, kemarin malam.

Dikatakan dia, jumlah tersebut berdasarkan data yang terkumpul hingga Sabtu (22/1/2022), kemarin. Paling banyak sekolah yang ditutup adalah tingkat SMA dengan jumlah 30 sekolah. Disusul SD sekitar 25, SMP sebanyak 17, TK 11, SMK lima, dan PKBM sebanyak dua.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement