REPUBLIKA.CO.ID, SHANGHAI -- Kebijakan tanpa toleransi terhadap kasus Covid-19 China tetap dipertahankan pemerintah meski bertentangan dengan seluruh dunia. Strategi nol covid China pun mengalami tantangan besar yang menimbulkan kekhawatiran tentang kemampuan sistem perawatan hingga adaptasi dengan varian baru dari SARS-CoV-2.
Tahun lalu, pakar medis China meyakini bahwa tingkat vaksinasi yang lebih tinggi mampu membuat China melonggarkan aturan ketat. Namun demikian, munculnya varian omicron melunturkan harapan itu.
Sejumlah ahli kesehatan lokal dan global menilai pendekatan nol covid China tidak berkelanjutan. Negara itu pun tidak punya pilihan selain terus mengingat bahwa sistem kesehatannya memang kurang berkembang.
Beberapa analis juga menilai bahwa ekonomi China bisa muncul lebih kuat, namun varian omicron yang menular lebih cepat dapat menurunkan ekspektasi itu. "Untuk negara besar dengan populasi 1,4 miliar, harus dikatakan bahwa efektivitas biaya pencegahan dan pengendalian negara sangat tinggi," kata kepala kelompok ahli pencegahan epidemi di Komisi Kesehatan Nasional China, Liang Wannian.
Direktur pelaksana Dana Moneter Internasional, Kristalina Georgieva meminta China untuk menilai kembali pendekatannya terhadap kebijakan covidnya. Dia mengatakan hal itu sekarang telah menjadi beban bagi ekonomi China dan global.
China juga khawatir soal dana dari penurunan kebijakan kesehatannya, terutama dengan sistem perawatan kesehatan yang tertinggal dalam perkembangannya yang lebih luas. "Dengan populasi yang besar dan kepadatan yang tinggi, pemerintah sudah sepatutnya mengkhawatirkan dampak penyebaran virus tersebut," kata profesor kesehatan internasional di Curtin School of Population Health di Perth, Australia, Jaya Dantas.
Ekonomi China diperkirakan akan melambat imbas gangguan pasokan terkait covid. Sementara penguncian untuk meredam wabah domestik membebani perjalanan dan konsumsi. Namun, ekonomi China tetap tangguh, dengan pertumbuhan PDB sebesar 8,1 persen tahun lalu, jauh melebihi ekspektasi.