REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lapor Covid-19 mengingatkan bahwa narasi serangan varian omicron dari SARS-CoV-2 tidak mematikan bisa membahayakan. Hal tersebut dapat berdampak terutama dalam membentuk respons masyarakat.
"Bisa jadi omicron tak mematikan seperti delta, tetapi dia bukan flu dan tetap bisa mematikan, terutama bagi yang belum divaksin. Situasi ini bisa membahayakan terutama membentuk respons masyarakat," kata Co-Lead Lapor Covid-19 Ahmad Arif, saat mengisi konferensi virtual Lokapala 3.0 "Habis Gelap Terbitlah Terang?", Kamis (27/1/2022).
Apalagi, menurut Arif, kasus Covid-19 di DKI Jakarta mulai naik dengan tren keterisian tempat tidur (BOR) di rumah sakit juga mulai meningkat. Bahkan, angka kematian juga bertambah.
Arif sebetulnya berharap cakupan vaksinasi dan infeksi Covid-19 sebelumnya bisa menahan gelombang omicron karena telah terbentuk kekebalan tubuh. Akan tetapi, ia meragukan hal tersebut.
"Tetapi, apakah ini cukup? Bagaimana kalau wabahnya meluas di berbagai daerah yang cakupan vaksinasi hingga fasilitas kesehatannya lebih rendah? Ini sama seperti pertanyaan sebelum gelombang delta terjadi," katanya.
Arif menilai, pertaruhan tetap terlalu besar kalau pemerintah kembali gagal menahan kasus. Tak hanya narasi omicron tak membahayakan, Lapor Covid-19 juga menyoroti vaksin Covid-19 dosis penguat (booster).
Sejak awal, Arif menyebutkan, Lapor Covid-19 menerima laporan mengenai vaksin booster yang awalnya hanya diberikan untuk tenaga kesehatan. Faktanya, vaksin ini diberikan kepada pejabat di daerah, bahkan keluarganya.
"Terakhir, misalnya November 2021 lalu, kami menemukan adanya jual beli vaksin booster seharga Rp 300 ribu di Surabaya, Jawa Timur. Kami sudah berulang kali menyampaikan temuan ini," ujarnya.
Menurut Lapor Covid-19, ini memicu implikasi yang serius dan ketimpangan konteks risiko yang diambil oleh publk. Tak hanya langkah saat ini, pihaknya menilai pengambilan risiko yang terlambat dan inkonsisten, bahkan terbatas sejak awal pandemi.
Ini kemudian yang menyebabkan masyarakat gagal memahami risiko Covid-19. Menurut Arif, jika langkah pengambilan risiko yang tepat diambil sejak awal maka kasus Covid-19 dan angka kematian bisa ditekan.
"Akhirnya, ada tanda tanya kepercayaan publik terhadap penanganan Covid-19. Bahkan, banyak yang tidak percaya Covid-19," ujarnya.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Pokja Genetik Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM, dr Gunadi, juga meminta masyarakat untuk tidak menganggap enteng omicron. Masyarakat diserukan tetap mewaspadai penularan varian dari virus penyebab Covid-19 tersebut.
Dr gunadi menyebut, omicron memang memiliki gejala umum yang tidak berat, namun varian itu tidak jinak. Artinya, jika terkena infeksinya maka mereka yang rentan tetap bisa menjadi berat gejalanya.
Dr Gunai mengingatkan, varian omicron telah menyebabkan kenaikan okupansi rumah sakit dan unit perawatan intensif (ICU), bahkan di Amerika Serikat dan negara-negara maju lain. Kondisi ini patut diwaspadai pemerintah dan seluruh elemen masyarakat yang ada di Tanah Air.