REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko mendorong tim Gugus Tugas Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) agar bisa membaca hal-hal yang perlu disempurnakan dari RUU TPKS saat penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Sehingga pada saat nanti disahkan, akan terlahir produk hukum yang paripurna.
"Secara substansi harus bisa menjawab seluruh persoalan, baik dari segi pencegahan, perlindungan korban, hingga pengaturan pidananya," kata Moeldoko, saat membuka konsinyering penyusunan DIM RUU TPKS, dikutip dari siaran resmi KSP, Senin (31/1/2022).
Kantor Staf Presiden menggelar konsinyering terkait penyusunan DIM RUU TPKS yang melibatkan Kemenkum Hukum dan HAM, KemenPPPA, Kemensetneg, Kejakgung, Polri, dan sejumlah lembaga terkait. Konsinyering penyusunan DIM ini dilakukan setelah Presiden Joko Widodo menerima naskah resmi RUU TPKS dari DPR.
Lebih lanjut, Moeldoko juga berharap gugus tugas RUU TPKS segera bergerak untuk melakukan diskusi publik bersama kelompok-kelompok strategis yang suaranya perlu didengar. Hal ini sebagai bahan dalam penyempurnaan DIM.
“Jangan sampai teriak-teriaknya nanti setelah RUU diundangkan. Lebih baik, kita berdebat berdarah-darah sekarang ketimbang nanti setelah semuanya disahkan,” kata Moeldoko.
Sebelumnya, dalam sidang paripurna pada Selasa (18/1), DPR mengesahkan RUU TPKS menjadi hak inisiatif DPR. RUU usulan inisiatif DPR tersebut kemudian diserahkan kepada Presiden untuk diterbitkan Surat Presiden (Surpres). Sesuai perundang-undangan, Presiden memiliki waktu maksimal 60 hari untuk mengirim surpres ke DPR berikut DIM, terhitung sejak RUU TPKS disahkan menjadi hak inisiatif DPR.
Di DPR sendiri, hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak RUU ini menjadi inisiatif wakil rakyat. PKS beralasan, penolakan dilakukan karena draf RUU tidak memasukkan larangan perzinahan.