REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mengaku terus berkomunikasi dengan DPR RI terkait ratifikasi perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura. Dia mengatakan, pemerintah berupaya ingin agar ratifikasi perjanjian tersebut segera rampung.
"Pemerintah akan mendorong percepatan proses ratifikasi dan kami percaya bahwa seluruh pihak terkait akan memiliki pandangan yang sama, mengingat besarnya manfaat yang akan kita peroleh dalam upaya mengejar pelaku tindak pidana," kata Yasonna dalam keterangan, Rabu (2/2).
Dia menjelaskan, ekstradisi tersebut merupakan upaya pemerintah dalam memulangkan pelaku tindak pidana yang melarikan diri atau transit ke Singapura. Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini melanjutkan, selama ini penangkapan pelaku pidana kerap kandas lantaran tidak adanya perjanjian bilateral.
Pemerintah Indonesia dan Singapura juga telah menyusun kesepakatan guna mengatur bentuk kejahatan yang dapat diekstradisi. Kesepakatan itu mencakup 31 tindak pidana, antara lain tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme hingga korupsi.
Yasonna mengatakan, perjanjian ekstradisi ini juga bersifat dinamis karena kedua negara sepakat untuk menggunakan prinsip open ended dalam menentukan jenis tindak pidana yang dapat diekstradisi. Dia melanjutkan, hal ini merupakan upaya untuk mengantisipasi kejahatan lainnya di masa mendatang.
Dia mengatakan, ekstradisi ini juga memanfaatkan ketentuan retroaktif yang diperpanjang menjadi 18 tahun. Dia melanjutkan, artinya ekstradisi masih dapat dimohonkan untuk mereka yang melakukan tindak pidana tersebut di masa lampau.
"Jika Perjanjian Ekstradisi ini selesai diratifikasi dan disahkan dengan undang-undang, penegak hukum dapat langsung memanfaatkan mekanisme ini untuk mengejar pelaku tindak pidana," katanya.
Lebih lanjut, Yasonna mengatakan bahwa pemerintah berupaya memulihkan kerugian negara akibat BLBI dengan melakukan eksekusi aset yang menjadi jaminan. Namun, sambung dia, proses eksekusi tersebut mengalami hambatan karena banyaknya aset yang telah mengalami peralihan kepemilikan.
Menurutnya, masa retroaktif 18 tahun ini sudah dapat memfasilitasi kebutuhan untuk menjerat para pihak yang terlibat dalam kasus tersebut. Dia mengatakan, penegak hukum dapat memanfaatkan perjanjian ini untuk mengejar obligor dan debitur yang mengalihkan aset jaminan BLBI.
"Pemerintah tentunya memiliki berbagai pertimbangan dan telah melakukan inventarisasi kepentingan dalam melakukan negosiasi untuk mengubah masa retroaktif menjadi 18 tahun," katanya.