REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, mengusulkan agar keterwakilan perempuan di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) diisi paling tidak 50 persen. Sebab jika dilihat berdasarkan jumlah populasi, diketahui pemilih perempuan lebih banyak ketimbang pemilih laki-laki.
"Yang mengerti bagaimana tantangan agar atau halangan-halangan yang dihadapi oleh pemilih perempuan tentu perempuan dan pembuat kebijakan yang pro terhadap perempuan itu sendiri, makanya kami di Pusako menyebutkan angkanya mestinya 50 persen 50 persen minimal," kata Feri dalam diskusi daring, Ahad (13/2/2022).
Feri menambahkan, karena pemilih perempuan lebih banyak maka keterisian perempuan pada penyelenggara pemilu harusnya didominasi oleh perempuan. Karena itu, komposisi yang tepat menurutnya keterisian perempuan di penyelenggara negara bukanlah 30 persen melainkan diisi 50 persen, atau diisi setidaknya empat orang perempuan dan tiga orang laki-laki.
"Mestinya kan bukan perempuannya tiga, laki-lakinya empat, tapi perempuannya empat laki-lakinya tiga," ujarnya.
Apalagi, Feri menjelaskan, jika dilihat lebih jauh pelanggaran yang dilakukan penyelenggara pemilu lebih banyak dilakukan oleh laki-laki. Hal tersebut karena penyelenggara pemilu paling banyak adalah laki-laki.
"Nah dengan pertimbangan begitu, mestinya kita bisa lihat dari konteks tidak menjalankan etika, ternyata pelakunya banyak laki-laki," ungkap Feri.
Ia mempertanyakan komposisi KPU saat ini yang hanya menempatkan satu perempuan berbanding dengan enam orang laki-laki. Menurutnya penambahan jumlah penyelenggara pemilu perempuan dinilai sangat penting untuk memastikan agar kebijakan yang dibuat tidak bias gender.
"Apalagi kalau kita lihat, bagaimana pelanggaran etik yang terlalu maksimal terjadi, mestinya keberadaan penyeimbang yaitu penyelenggara perempuan bisa jadi solusi yang harusnya menjadi pilihan bagi DPR," tuturnya.