Senin 14 Feb 2022 06:29 WIB

Pemindahan IKN dan Pemekaran Daerah Jangan Dipaksakan Saat Pandemi

Pemekaran daerah tidak mengubah signifikan kesejahteraan masyarakat.

Red: Erik Purnama Putra
Mobil melintas di jalan kawasan calon ibu kota negara (IKN) Nusantara di kawasan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Ahad (6/2/2022).
Foto: ANTARA/Bayu Pratama S
Mobil melintas di jalan kawasan calon ibu kota negara (IKN) Nusantara di kawasan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Ahad (6/2/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Bidang Politik, Hukum, dan HAM Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia (GPMI) Heikal Safar menanggapi pro dan kontra pemindahan ibu kota negara (IKN) dari Jakarta ke wilayah Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Heikal juga menyoroti meningkatnya permintaan pemekaran dari sejumlah otonomi daerah setiap tahun di Indonesia.

Pasalnya, baik pemekaran daerah maupun pemindahan IKN membutuhkan anggaran negara yang besar. Padahal, uang rakyat yang digunakan belum tentu bisa memperbaiki kehidupan rakyat kecil dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Apalagi, pemerintah perlu membangun fasilitas umum dan penyiapan infrastruktur lainnya jika harus memekarkan sebuah daerah, termasuk pindah IKN.

Baca Juga

"Menurut saya, pemindahan IKN dan pemekaran daerah jangan dipaksakan saat pandemi Covid-19, karena lebih banyak mudaratnya dan hanya menambah calon koruptor," kata Heikal kepada wartawan di Jakarta, Senin (14/2/2022).

Dia menjelaskan, pemekaran daerah di Indonesia terjadi sejak lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Mulai saat itu, lahir banyak daerah baru, baik kabupaten/kota dan bahkan provinsi sebagai imbas pemekaran dan otonomi daerah.

Heikal mengakui, ada kelompok masyarakat Indonesia yang setuju dengan pemekaran daerah. Hal itu lantaran menjadi jalan terbaik untuk memperpendek rentang kendali pemerintah yang dapat memperbaiki kualitas pelayanan publik. Namun di sisi lain, ada sebagian masyarakat yang menolak, lantaran pemekaran daerah tidak membawa perubahan yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.

Dia pun berpesan agar jangan sampai pemekaran daerah justru dimanfaatkan oknum penyelenggara untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan. Apalagi kebijakan yang diambil nantinya malah berpotensi membuka tindak pidana korupsi.

"Uang negara banyak dihabiskan untuk memperkaya para koruptor, keluarga dan kelompoknya. Faktanya sangat banyak pejabat negara di negeri ini yang masuk bui gara-gara terima gratifikasi, korupsi, dan kutip lelang jabatan," katanya.

Heikal mengatakan, pemekaran daerah sebaiknya memenuhi kriteria persyaratan sesuai UU yang berlaku. Di antaranya, kemampuan ekonomi, potensi daerah, budaya, sosial politik dan pertimbangan yang sangat mendasar lainnya. "Kami GPMI bersama Rakyat Indonesia sangat mengharapkan tegakkan aturan UU yang sebenar-benarnya demi pemerintahan yang bersih dan terbebas para oknum yang kotor," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement