REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR RI belum menerima surat permintaan ratifikasi terhadap perjanjian Indonesia dan Singapura dari pemerintah. Karena itu, DPR RI belum dapat meratifikasi perjanjian tersebut.
"Kami masih menunggu, kan sudah ada tinggal ada itu, baru nanti kita jadwalkan," ujar Wakil Ketua DPR Lodewijk F Paulus di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (15/2/2022).
Ia belum bisa mengomentari lebih detail terkait seluruh hasil kesepakatan kedua negara tersebut. Namun, ia mengatakan, bakal ada aturan dan mekanisme lanjutan untuk penerapan hasil kesepakatan tersebut, terutama untuk Perjanjian Kerjasama Pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) dan pelayanan navigasi penerbangan ruang udara atau Flight Information Region (FIR).
Ia menyebutkan, salah satu aturan yang akan dibuat adalah soal perjanjian di bidang pertahanan. Sebab, Singapura boleh melakukan latihan militer dan perang dengan negara lain di wilayah bernama area Bravo di barat daya Kepulauan Natuna, tetapi harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari Indonesia.
"Sekarang kalau itu daerah latihan, latihan seperti apa. Kalau umpamanya dia mau ajak pihak ketiga, ya tentunya lapor dulu ke Indonesia," ujar Lodewijk.
Terkait FIR, Lodewijk yang merupakan mantan komandan Komando Pembina Doktrin, Pendidikan dan Latihan (Kodiklat) Angkatan Darat itu menjelaskan bahwa ketika latihan militer di udara, Indonesia harus meminta izin kepada Singapura. Sebab, lalu lintas udara di sana sangat sibuk dan ramai.
"Namanya manuver pesawat terbang itu bisa sampai ke batam, nah di Batam itu kan FIR-nya yang ngatur itu Singapura, karena crowded banget lalu lintas di sana sehingga waktu itu kita harus izin," ujar Lodewijk.
Sebelumnya, anggota Komisi I DPR Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Effendi Simbolon kembali mengkritisi perjanjian antara Indonesia dan Singapura di hadapan Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi. Menurutnya, perjanjian tersebut sangat bias, khususnya apakah hal tersebut menguntungkan Indonesia.
"Publikasinya kepada rakyat Indonesia sangat bias, Bu, saya jujur aja prihatin. Ada yang mengatakan ini (kesepakatan ekstradisi) adalah bentuk komitmen presiden terhadap penanggulangan masalah korupsi, ini bohong," ujar Effendi dalam rapat kerja dengan menlu pada Senin (14/2/2022).
Pertama, ia mempertanyakan kesepakatan terkait DCA yang berpotensi terancamnya kedaulatan Indonesia. Sebab, Singapura dapat mengajukan hak menggelar latihan tempur dan perang bersama negara lain di wilayah bernama area Bravo di barat daya Kepulauan Natuna.
Kedua adalah kesepakatan terkait FIR di atas wilayah Kepulauan Riau dan Natuna. Kedaulatan dalam negeri masih terancam dengan hal tersebut karena Indonesia hanya mendapatkan 37 ribu kaki ke atas.
"FIR juga, FIR apa sih Bu? Menteri Perhubungan bilang ini bentuk kedaulatan yang kembali, yang mana? Yang mana? 0-37 ribu feet itu daerah kekuasaan siapa?" ujar Effendi.
Wakil Ketua Komisi I DPR Anton Sukartono Suratto juga mempertanyakan keuntungan yang didapatkan Indonesia dari hasil perjanjian dengan Singapura. Sebab, sejumlah poin kesepakatan di dalamnya justru berpotensi mengancam kedaulatan Indonesia.
"Yang menjadi bargaining (tawaran), oke kami (Singapura) kasih ekstradisi maka kami minta FIR, minta DCA, itu yang kami rasa keberatan di situ," ujar Anton dalam rapat kerja dengan menlu.
Ia mengkritisi hasil perjanjian terkait pelayanan navigasi penerbangan ruang udara atau FIR. Sebab, ruang udara di ketinggian 0 sampai 37 ribu kaki atas wilayah Kepulauan Riau dan Natuna masih merupakan kewenangan dari pemerintah Singapura.
"FIR itu wilayah kita, kedaulatan kita, terus harus kita minta izin, tidak bener Bu. Saya mau ke rumah anak saya masa harus minta izin, menyeberangi Natuna saya harus izin," ujar Anton.
Anggota Komisi I Fraksi Partai Demokrat menilai pemerintah belum memberikan penjelasan secara detail dan rinci terkait keseluruhan hasil kesepakatan Indonesia dengan Singapura. Hal inilah yang membuat publik tak melihat manfaatnya.
"Ada dispute diplomasi yang menyebabkan output hasil perjanjian itu bias, tapi saya nilai bahwa secara implisit memang benar Singapura yang lebih bener," ujar Syarief.