REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Dewan Fatwa PB Al-Washliyah Nirwan Syafrin menyampaikan penjelasan tentang hukum menimbun barang. Dia mengatakan menimbun atau menyimpan barang yang menjadi kebutuhan masyarakat sehari-hari jelas hukumnya haram.
"Karena barang tersebut barang yang memang dihajatkan oleh banyak orang. Jadi dalam konteks ini tidak dibenarkan dalam Islam," tutur dia kepada Republika.co.id, Senin (21/2).
Nirwan mengungkapkan, hal yang mengganggu kemaslahatan masyarakat tentu bertentangan dengan kaidah syariah di mana kemaslahatan umum harus lebih diutamakan daripada kemaslahatan pribadi. Boleh jadi, itu memang kemaslahatan bagi pemilik barang yang membuatnya bisa mendapat keuntungan yang besar.
"Tetapi, kalau barang yang ditimbun tadi itu menyebabkan kekacauan di tengah masyarakat, maka akan merusak stabilitas masyarakat. Dan ini yang dicegah dalam Islam karena menyangkut kemaslahatan masyarakat dan juga berkaitan dengan keselamatan masyarakat," ungkapnya.
Dia juga mengingatkan, menjaga kemaslahatan umum, apalagi hal-hal yang dihajatkan musyarakat umum mutlak dipenuhi oleh negara. Sehingga negara pun wajib hadir menjaga kemaslahatan masyarakat. Kalau ada pihak yang bermain untuk mengganggu kemaslahatan umum yang berkaitan dengan keselamatan masyarakat, maka negara harus bertindak tegas.
Adapun penimbunan barang yang dilakukan ketika masyarakat tidak membutuhkannya, menjadi wajib untuk didistribusikan dalam keadaan ketika publik membutuhkannya. "Artinya tidak ada barang yang dibenarkan untuk ditimbun. Apalagi kalau berhubungan dengan hajat kehidupan orang banyak, Islam melarang keras," ujarnya.
Nirwan mengemukakan, setidaknya ada tiga hal mengapa menimbun barang itu tidak dibenarkan dalam Islam. Pertama, karena mengganggu kebutuhan masyarakat umum. Kedua, mengganggu keselamatan masyarakat secara umum karena keselamatan masyarakat menjadi prioritas dalam Islam. Ketiga, kalau barang itu menyangkut kebutuhan pokok masyarakat, maka tidak dibenarkan menimbunnya.
"Tetapi kalau kita timbun dan tidak ada masalah di tengah masyarakat, yang ukurannya adalah respons pasar atau masyarakat, maka tidak masalah dalam konteks itu. Misalnya menyimpan emas, yang tentunya ada zakat yang harus dibayarkan jadinya," ujarnya.
Lalu, contoh penimbunan barang seperti apa yang dibolehkan dalam Islam? Nirwan mencontohkan kehidupan warga di pedesaan yang umumnya menyimpan gabah hasil panen. Dia menjelaskan, para warga tersebut menyimpan gabahnya sesuai kebutuhannya dan tidak berniat menjual dengan harga tinggi saat barang menjadi langka.
"Karena ada bagian yang dijual agar uangnya itu kembali kepada dia atau jadi modal lagi. Jadi yang dilakukan mereka itu manajemen ekonomi untuk rumah tangganya. Tidak ada niat menyimpan barang untuk kemudian melambungkan harga ketika masyarakat membutuhkannya. Nah, ini dibenarkan," ucapnya.
Hal itu sama seperti yang dilakukan Nabi Yusuf AS yang memerintahkan supaya para petani dan negara saat itu menyimpan gandum atau hasil panennya sehingga pada masa paceklik masih terdapat simpanan. Simpanan inilah yang digunakan untuk menutupi masa paceklik supaya masyarakat Mesir saat itu tidak mengalami kesulitan.
Nirwan kemudian menyinggung soal penetapan harga pada barang tertentu yang menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat. Di masa awal Islam, Rasulullah SAW memang pernah didatangi seorang sahabat yang meminta agar beliau SAW menetapkan harga pada suatu barang tertentu. Tetapi Nabi SAW menolak dan membiarkan pasar yang menentukan.
Meski demikian, Nirwan menjelaskan, Ibnu Taimiyah dan beberapa fatwa ulama lain menyebutkan, jika barang-barang itu dibutuhkan masyarakat atau merupakan barang kebutuhan pokok, maka menetapkan harga barang tersebut hukumnya bahkan menjadi wajib. Misalnya di Malaysia yang terkadang menetapkan harga pada barang-barang pokok tertentu.
"Jadi dalam hal ini, pemerintah juga perlu terlibat dengan menetapkan harga yang rasional," ujarnya.