Ahad 27 Feb 2022 11:27 WIB

Yusril: Penundaan Pemilu Berpotensi Lahirkan Anarki dan Diktator

Perpanjangan jabatan presiden dengan alasan ekonomi dipastikan melanggar konstitusi.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Andi Nur Aminah
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa tidak ada dasar hukum sama sekali untuk menunda pemilihan umum (Pemilu) 2024. Perpanjangan jabatan presiden hanya dengan alasan ekonomi juga dipastikannya akan melanggar konstitusi.

"Ini yang kontroversial, rakyat masih menghendaki Jokowi melanjutkan kepemimpinan. Bahkan ada yang meminta diperpanjang tiga periode, sementara Jokowinya sendiri dalam berbagai kesempatan menyatakan tidak punya niat untuk menjabat tiga periode," ujar Yusril lewat keterangan tertulisnya, Ahad (27/2).

Baca Juga

Pemilu, jelas Yusril, berkaitan langsung dengan norma konstitusi sebagaimana diatur dalam Undang-Undand Dasar 1945. Salah satunya yakni pemilu adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali yang pelaksanaannya diatur dalam Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945.

Pesta demokrasi tersebut bertujuan memilih anggota DPR dan DPD untuk membentuk MPR yang diatur dalam Pasal 2 ayat 1. Secara spesifik, Pasal 22E UUD 45 secara imperatif menyatakan bahwa pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden, serta DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

"Jadi, jika pemilu ditunda melebihi batas waktu lima tahun, maka atas dasar apakah para penyelenggara negara itu menduduki jabatan dan menjalankan kekuasaannya? Tidak ada dasar hukum sama sekali," ujar Yusril.

"Kalau tidak ada dasar hukum, maka semua penyelenggara negara mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD semuanya ilegal alias tidak sah atau tidak legitimate," ujar Yusril.

Jika hal tersebut dipaksakan, para penyelenggara negara adalah ilegal dan tidak ada kewajiban apapun bagi rakyat untuk mematuhi pemerintah. Rakyat berhak menolak keputusan apapun yang mereka buat, karena keputusan itu tidak sah dan tak memiliki dasar hukum.

Namun dalam situasi tersebut, dua posisi legal yang tersisa adalah Panglima TNI dan Kapolri. Jika Presidennya sudah ilegal dan tidak sah, keduanya dapat membangkang kepada perintah Presiden yang ilegal tersebut.

"Beruntung bangsa ini kalau Panglima TNI dan Kapolri kompak sama-sama menjaga persatuan dan kesatuan bangsa pada saat yang sulit dan kritis. Tetapi kalau tidak kompak, bagaimana dan apa yang akan terjadi? Bisa saja terjadi dengan dalih untuk menyelamatkan bangsa dan negara, TNI mengambil alih kekuasaan walau untuk sementara," ujar Yusril.

Menurutnya, negara akan sangat carut marut jika pemilu benar-benar ditunda. Pasalnya, Indonesia tak memiliki pemerintah eksekutif seperti presiden dan lembaga legislatif dalam fungsi pengawasan yang sah, karena tak ada dasar hukum penundaannya.

Hal tersebutlah yang berpotensi menimbulkan anarki di kelompok masyarakat. Dari situasi tersebut, akan mendorong munculnya seorang diktator untuk menyelamatkan negara dengan tangan besi.

"Diktator akan mendorong konflik makin meluas, daerah-daerah potensial bergolak. Campur-tangan kepentingan-kepentingan asing untuk adu domba dan pecah belah tak terhindarkan lagi, NKRI harga mati berada dalam pertaruhan besar," ujar mantan Menteri Hukum dan HAM itu.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement