REPUBLIKA.CO.ID, Meski raganya berada di lokasi pengungsian gempa, tapi ingatannya akan rumah serta deretan pilu yang baru saja dilalui belum hilang dari pikiran Andri (51 tahun). Warga Kampuang Pasia, Kecamatan Kajai, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat itu adalah satu dari ribuan warga yang menjadi korban gempa bumi magnitudo 6,1 di Pasaman Barat pada Jumat (25/2/2022).
Meski di lokasi pengungsian Andri terlihat baik-baik saja dan murah melemparkan senyum, namun ada pilu yang bersemayam di dalam hatinya, bergelombang dalam bening matanya. Waktu itu, sehari sebelum gempa terjadi, bapak empat anak itu masih sibuk dengan khitanan putera bungsunya, Wahyu yang kini duduk di bangku kelas 1 SMP.
Kesibukan berlangsung hingga larut malam karena di lokasi setempat ada tradisi, jika anaknya berkhitan maka orang tuanya akan menggelar syukuran dengan mengundang warga kampung makan bersama. Setelah acara selesai dan tamu pulang seluruhnya, suami dari Ismar (40) beserta keluarga beranjak tidur karena didera oleh rasa kantuk bercampur lelah.
Pagi baru bergeliat, kabar duka membangunkan Andri dari tidur. Jumat (25/2) sekitar pukul 06.30 WIB, kakak kandungnya yang bernama Joni berpulang menghadap sang khalik di usia 58 tahun sehingga harus segera diselenggarakan jenazahnya. Sejak sang kakak lumpuh karena menderita stroke Joni memang tinggal dan dirawat oleh keluarga Andri.
Ia segera bangkit dari tempat tidur, bersiap melangsungkan prosesi jenazah. Setelah jenazah dimandikan, Andri beserta keluarga kemudian berembuk untuk menentukan dimana kakaknya akan dimakamkan. Namun di tengah perembukan, suara gemuruh tiba-tiba datang mengagetkan semua orang.
Tanah bergetar dan rumah berguncang hebat akibat gempa pertama pada Jumat (25/2) sekitar 08.35 WIB bermagnitudo 5,2. Warga yang hadir ke rumah duka langsung dilanda kepanikan. Mereka berlarian keluar rumah untuk menyelamatkan diri, termasuk Andri dan keluarganya.
"Waktu itu gempa berlangsung lama hingga menimbulkan rasa panik dan ketakutan. Saya juga tidak tahu apa yang harus dilakukan," kata Andri menghela napas panjang saat bercerita di lokasi pengungsian.
Laki-laki asal Kota Bukittinggi itu langsung dilanda kalut, pikirannya berantakan dan gemuruh muncul di dalam dada. Entah apa yang harus ia lakukan saat itu karena di satu sisi gempa kuat sedang terjadi, sedangkan di sisi lain jenazah kakaknya sedang terbaring di dalam rumah.
Dunia serasa berputar kencang di dalam kepalanya dan matanya kelam, sementara keputusan harus diambil dalam waktu yang cepat. Tanpa membuang waktu, Andri akhirnya memutuskan keluar rumah untuk menyelamatkan diri bersama anak dan isteri menuju ke tempat terbuka.
Dengan berat hati, ia tinggalkan jenazah kakaknya yang masih terbaring di tengah rumah.
Gampa kedua...