REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo terkait wacana penundaan pemilihan umum (Pemilu) 2024 yang berimbas ke perpanjangan masa jabat presiden. Menurutnya, pernyataan tersebut belum tegas sebuah penolakan.
"Saya tidak bosan-bosan untuk mengusulkan agar Presiden Jokowi itu memberikan statement secara lebih tegas. Soal penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden hingga 2027, Presiden Jokowi belum memberikan pernyataan yang tegas," ujar Burhanuddin dalam sebuah diskusi daring, Sabtu (5/3/2022).
Burhanuddin mengatakan, Jokowi yang menyatakan taat konstitusi justru terlihat mengambang terhadap wacana penundaan Pemilu 2024. Sebab, memang ada sejumlah cara untuk merealisasikan wacana tersebut. Salah satunya lewat amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
"Ada panggung depan panggung belakang yang membuat mereka yang dekat dengan Istana itu bisa mengeluarkan statement yang bahkan berbeda secara verbatim dengan apa yang disampaikan oleh Pak Jokowi," ujar Burhanuddin.
Burhanuddin menilai, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) justru lebih tegas ketimbang pernyataan Jokowi yang taat kepada konstitusi. Hal tersebut dapat membuat publik semakin curiga dan yakin bahwa orang di lingkungan Istana tengah merealisasikan perpanjangan masa jabatan tersebut.
"Ketika berbicara mengenai perpanjangan masa jabatan presiden itu bukan hanya statement penolakan yang tidak kita dapatkan secara clear, tetapi seperti terkesan ada pernyataan yang sangat bersayap, yang kemudian bisa ditafsirkan oleh para pendukung penundaan pemilu sebagai bentuk dukungan diam-diam untuk melanjutkan agenda tersebut," ujar Burhanuddin.
Dalam forum diskusi yang sama, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar mengingatkan elite politik untuk tak bermain-main dengan wacana penundaan pemilu. Sebab, hal tersebut akan berdampak langsung kepada wacana perpanjangan masa jabat presiden yang dapat menjadi pintu masuk otoritarianisme.
"Bermain-main dengan masa jabatan itu melanggar prinsip konstitualisme, melanggar juga prinsip demokrasi, sistem presidensial, dan itu yang membuat seringkali pintu masuk atau jebakan ke arah otoritarianisme," ujar Zainal.