Selasa 08 Mar 2022 20:30 WIB

Pentingnya Memasukkan Anti Penyiksaan ke Sistem Hukum Indonesia

Penyiksaan masih dialami warga binaan.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Hafil
Pentingnya Memasukkan Anti Penyiksaan ke Sistem Hukum Indonesia. Foto: Ilustrasi penyiksaan
Foto: Checksbalances.clio.nl
Pentingnya Memasukkan Anti Penyiksaan ke Sistem Hukum Indonesia. Foto: Ilustrasi penyiksaan

REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Direktur Pusat Studi Hukum dan HAM (Pusham) UII, Eko Riyadi mengatakan, penyiksaan terhadap warga binaan lapas masih saja terjadi karena Indonesia tidak melakukan apa-apa setelah melakukan ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan.

Padahal, ia mengingatkan, konvensi itu sudah tegas sekali membedakan penyiksaan dan penganiayaan. Penyiksaan sendiri merupakan tindakan yang dilakukan aparatur negara, dalam konteks penegakan hukum untuk mendapatkan informasi dan lain-lain.

Baca Juga

Sedangkan, penganiayaan dilakukan orang kepada orang lain, bukan aktor negara, dilakukan atas kepentingan pribadi, tidak ada urusan jabatan publiknya. Sayang, sampai hari ini Indonesia masih belum memasukkan penyiksaan dalam sistem hukum.

"Kita belum mau sampai hari ini memasukkan anti penyiksaan dalam sistem hukumnya karena Indonesia masih bilang kita sudah ada KUHP tentang penganiayaan, padahal penganiayaan dengan penyiksaan itu sangat berbeda," kata Eko kepada Republika, Selasa (8/3).

Ia menekankan, pemerintah Indonesia untuk menentang penyiksaan dalam sistem hukum harus memiliki regulasi internal bagi penegak hukum yang intinya satu. Yaitu, melarang digunakannya penyiksaan untuk penegakan hukum, terutama oleh Polri.

Sebab, Polri yang melakukan penyelidikan dan penyidikan. Selain Polri, juga pihak-pihak yang bertanggung jawab di lembaga pemasyarakatan. Kemenkumham harus segera mengeluarkan peraturan yang jelas melarang digunakannya penyiksaan.

"Atau, tindakan lain yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat, oleh seluruh aparaturnya," ujar Eko.

Kemudian, ruang-ruang publik di lembaga pemasyarakatan misalnya, memang harus memiliki CCTV. Termasuk, penyidikan, harus ada rekaman di ruangan, harus diatur, harus ada rekaman saat seorang disidik, diinterogasi untuk mendapat keterangan.

Dengan cara itu, penyidik tahu dia diawasi, termasuk di lembaga pemasyarakatan dan ruang-ruang publik lain harus sudah dipasangi CCTV. Selain itu, tentunya harus ada usaha jangka panjang seperti pendidikan dan edukasi kepada penegak hukum sendiri.

"Walaupun kita punya data, kadang penyiksaan tidak dilakukan di ruang penyidikan dibawa pergi, di pinggir pantai, tapi setidaknya di ruang penyidikan dan ruang- ruang publik di lembaga pemasyarakatan harus ada CCTV," kata Eko.

Eko menerangkan, harus ada perubahan pola pikir yang sangat serius, harus ada perbaikan kepada standar operasional prosedur. Hari ini, era seperti sekarang, tidak boleh ada lagi ada yang menggunakan cara-cara penyiksaan seperti itu.

Menurut Eko, negara memiliki kewajiban pula untuk menyediakan ruang bagi korban untuk melaporkan penyiksaan-penyiksaan yang dialaminya. Beban untuk ketersediaan ruang bagi korban jangan diletakkan ke narapidana di lembaga pemasyarakatan.

Kemenkumham, Eko menegaskan, harus memperbaiki tata laksana pengelolaan warga binaan yang ada saat ini. Harus dibuat tata laksana pengelolaan yang membatasi, bahkan mampu menghilangkan kemungkinan sekecil apapun terjadinya penyiksaan.

"Jangan letakkan bebannya ke narapidana untuk lapor, narapidana untuk bilang, mereka tidak berani," ujar Eko. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement