REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut analisis baru, lebih dari 90.000 hektare habitat koala di Queensland hilang dalam satu tahun. Sebagian besar pembukaan tersebut untuk produksi daging sapi.
The Wilderness Society (TWS) menganalisis Studi Tutupan Lahan dan Pohon (Slats) terbaru pemerintah Queensland, yang menunjukkan pemilik tanah menghancurkan 680.688 hektare vegetasi kayu pada tahun 2018 hingga 2019.
Menurut organisasi tersebut, 92.718 hektare lahan yang dibuka berada di habitat koala yang diketahui. Luasan ini hampir sebanding dengan melibas dua pertiga wilayah pemerintah lokal Brisbane.
Sebagian besar lahan yang dibuka sekitar 73.825 hektar atau 80 persen dari wilayah yang digunakan untuk produksi ternak.
Manajer kampanye sementara TWS Queensland, Anita Cosgrove, mengatakan sebagian besar hilangnya habitat tidak diteruskan untuk persetujuan di bawah aturan lingkungan nasional Australia
“Meskipun lemahnya undang-undang deforestasi dan perlindungan spesies yang ada, yang sebenarnya paling mengkhawatirkan adalah ketika undang-undang tersebut tidak diterapkan sama sekali,” ujarnya.
Menteri lingkungan federal, Susan Ley, baru-baru ini meningkatkan status konservasi perlindungan koala menjadi terancam punah. Dia berkomitmen untuk menetapkan strategi pemulihan nasional untuk hewan tersebut.
Sebelumnya TWS telah mendesak industri daging sapi dan perusahaan yang membeli dan menjual produk daging sapi untuk mengambil tindakan yang lebih baik.
Pada tahun 2018, TWS menerbitkan sebuah laporan tentang pembukaan lahan di daerah tangkapan Great Barrier Reef, dengan alasan bahwa deforestasi dapat membuat perusahaan menghadapi risiko keuangan di masa depan.
Data bilah dari 2018 hingga 2019 tidak dapat dengan mudah dibandingkan dengan data dari tahun-tahun sebelumnya karena pemerintah telah mengadopsi teknologi resolusi lebih tinggi untuk menangkap jumlah pembukaan lahan.
Tingkat pembukaan lahan yang tinggi dan berkelanjutan di negara bagian tersebut, menurut organisasi WWF Australia, menunjukkan bahwa perubahan pada undang-undang tersebut telah gagal dalam mengurangi kerusakan habitat. Selain itu, metode pemantauan lama kemungkinan mengakibatkan kurangnya pelaporan pembukaan lahan pada tahun-tahun sebelum 2018 dan 2019.
Dalam tinjauan sekali dalam satu dekade terhadap Undang-Undang Perlindungan Lingkungan dan Konservasi Keanekaragaman Hayati, mantan kepala pengawas kompetisi Graeme Samuel mengusulkan penerapan standar lingkungan nasional.
Namun, dia mengatakan industri juga dapat membantu dengan memastikan bahwa produk daging sapi dalam rantai pasokan mereka berkelanjutan dan tidak menyebabkan deforestasi.
“Hanya sebagian kecil produsen yang bertanggung jawab atas tingginya laju deforestasi. Pengecer besar daging sapi perlu mendukung mayoritas produsen yang sudah melakukan hal yang benar.” katanya.