REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama (Kemenag) menyampaikan, ada perubahan mendasar dalam proses sertifikasi halal pasca terbitnya Undang-undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Salah satunya, proses sertifikasi halal dilakukan melalui sinergi para pihak, tidak hanya oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag, Muhammad Aqil Irham, menjelaskan, setidaknya ada tiga pihak yang terlibat dalam proses sertifikasi halal sebuah produk yang diajukan oleh para pelaku usaha.
"Ada tiga aktor yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2014, terlibat dalam proses sertifikasi halal, yaitu BPJPH, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan MUI," kata Aqil melalui pesan tertulis yang diterima Republika, Selasa (15/3).
Menurutnya, masing-masing pihak sudah memiliki tugas dan tanggung jawabnya dalam tahapan sertifikasi halal, sejak dari pengajuan pemilik produk hingga terbitnya sertifikat. BPJPH misalnya, memiliki tugas menetapkan aturan atau regulasi, menerima dan memverifikasi pengajuan produk yang akan disertifikasi halal dari pelaku usaha (pemilik produk), dan menerbitkan sertifikat halal beserta label halal.
Sementara LPH bertugas melakukan pemeriksaan atau pengujian kehalalan produk yang diajukan untuk sertifikasi halalnya. Pemeriksaan ini dilakukan oleh auditor halal yang dimiliki oleh LPH.
Aqil mengatakan, pihak ketiga yang berperan dalam proses sertifikasi halal adalah MUI. MUI berwenang menetapkan kehalalan produk melalui sidang fatwa halal. Ketetapan halal ini, baik yang terkait dengan standar maupun kehalalan produk.
"Sertifikat halal yang diterbitkan BPJPH didasarkan atas ketetapan halal MUI," ujarnya.
Kepala Pusat Registrasi Sertifikasi Halal BPJPH, Mastuki, menambahkan, dalam pola sinergi ini, BPJPH tidak bisa mengeluarkan sertifikat halal kalau tidak ada ketetapan halal dari MUI (melalui sidang fatwa). Sebab, ketetapan halal MUI merupakan pemenuhan aspek hukum agama (syariah Islam). Sedangkan sertifikat halal yang diterbitkan BPJPH adalah bentuk pengadministrasian hukum agama ke dalam hukum negara.
"Label halal Indonesia baru bisa dicantumkan dalam kemasan produk setelah mendapat sertifikat halal dari BPJPH," kata Mastuki.
Baca juga : Soal Logo Halal Wayang, Ustadz Adi Hidayat: Ini Bukan Perkara Seni, Ini Masalah Syariat
Terkait LPH, Mastuki menjelaskan bahwa saat ini ada tiga LPH yang telah menjalankan tugasnya dalam melakukan kegiatan pemeriksaan dan pengujian kehalalan produk di dalam proses sertifikasi halal. Ketiganya adalah LPH LPPOM MUI, LPH Sucofindo, dan LPH Surveyor Indonesia.
Selain itu, ada sembilan institusi yang pengajuan akreditasinya sudah lengkap dan terverifikasi menjadi LPH. Mereka adalah Yayasan Pembina Masjid Salman ITB Bandung, Balai Pengembangan Produk dan Standardisasi Industri Pekanbaru Riau, Dewan Pengurus Pusat Hidayatullah Jakarta, Kajian Halalan Thayyiban Muhammadiyah Jakarta, dan Balai Sertifikasi Direktorat Standardisasi dan Pengendalian Mutu Kementerian Perdagangan.
Selain itu ada Universitas Hasanuddin Makassar, Yayasan Bersama Madani Kota Tangah Padang Sumatera Barat, Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur, dan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
Mastuki mengatakan, dari jumlah itu, sebanyak delapan institusi sudah selesai proses integrasi sistem, sedang satu institusi masih dalam proses integrasi sistem.
"BPJPH telah membentuk tim akreditasi LPH sejak 10 November 2021 untuk memproses permohonan tersebut. Sejumlah Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) juga sudah mulai mengajukan permohonan untuk menjadi LPH," ujarnya.
Baca juga : MUI Tegaskan Masih Berwenang Tentukan Fatwa Halal