Rabu 16 Mar 2022 16:18 WIB

Jimly: Banyak Negara Berdarah-darah Menerapkan Tiga Periode

Perpanjangan jabatan presiden berpotensi hasilkan demokrasi tak berkualitas.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Indira Rezkisari
 Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan, penundaan pemilu menimbulkan ancaman demokrasi tak hanya dalam praktik perpanjangan masa jabatan, tetapi penyelenggaraan Pemilu tanpa adanya regenerasi pemimpin.
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan, penundaan pemilu menimbulkan ancaman demokrasi tak hanya dalam praktik perpanjangan masa jabatan, tetapi penyelenggaraan Pemilu tanpa adanya regenerasi pemimpin.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie meminta untuk menyudahi wacana perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode maupun penundaan Pemilu. Jimly yang juga anggota DPD RI periode 2019-2024 ini menegaskan bernegara adalah kegiatan membuat keputusan, bukan membuat wacana.

"Jadi lihat keputusan yang diambil, kan sudah dibuat keputusan 14 Februari 2024 pemungutan suara, 1 Agustus 2022 tahapan pertama sudah disepakati. Jangan terpaku pada ribut-ribut retorika tunda Pemilu," kata Jimly saat memberikan keynote speaker di acara Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah-Aisyiyah ke-48, Rabu (16/3/2022).

Baca Juga

Ahli Hukum Tata Negara ini mengakui, berbagai ancaman terhadap demokrasi di terjadi di berbagai negara di dunia, tidak hanya di Indonesia. Salah satunya perpanjangan tiga periode jabatan presiden juga terjadi di negara-lain.

Menurutnya, ada negara yang berhasil menerapkan perpanjangan itu tetapi banyak juga yang mempertaruhkan darah karena perpanjangan tersebut. "Banyak negara yang berhasil tapi banyak yang berdarah-darah menerapkan tiga periode itu, memperpanjang dari dua menjadi tiga banyak di Afrika. Tapi banyak di antara yang berhasil pun itu tidak termasuk kategori demokrasi berkualitas, jadi tidak ideal itu," kata Jimly.

Ia melanjutkan, ancaman demokrasi tak hanya dalam praktik perpanjangan masa jabatan, tetapi penyelenggaraan Pemilu tanpa adanya regenerasi pemimpin. Ini terjadi di beberapa negara, salah satunya Kamboja. Meskipun menggunakan sistem parlementer, tetapi sistem pemilunya presidensial dan tidak mengalami pergantian sejak 1993.

"Jadi Perdana Menteri sejak 1993 insya Allah sampai dia meninggal akan menjadi perdana menteri terus," katanya.

Menurutnya, Indonesia pun pernah mengalaminya di masa lalu saat Presiden Soekarno ditetapkan menjadi presiden seumur hidup melalui Tap MPR. Jimly pun menilai kondisi ini gejala umum yang terjadi dan merupakan bentuk dari kemunduran demokrasi. Karena itu, ia meminta semua pihak untuk menolak ha-hal yang merusak demokrasi di Indonesia.

"Ini kemunduran demokrasi. Oleh karena itu tidak boleh taken for granted, ini soal serius," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement