REPUBLIKA.CO.ID, KIEV -- Kepala Direktorat Intelijen Kementerian Pertahanan Ukraina, Kyrylo Budanov, mengatakan, Rusia sedang mempertimbangkan "skenario Korea" untuk Ukraina. Rusia akan membelah negara itu menjadi dua setelah gagal merebut ibu kota Kiev dan menggulingkan pemerintahnya.
Budanov mengatakan, Presiden Rusia Vladimir Putin akan mencoba untuk menetapkan garis pemisah antara wilayah yang tidak diduduki dan yang diduduki di Ukraina. Menurut Budanov, konsep Rusia ini seperti pemisahan Korea Utara dan Korea Selatan.
“Ini adalah upaya untuk menciptakan Korea Utara dan Selatan di Ukraina. Dia (Putin) tidak dalam posisi untuk menguasai seluruh negeri (Ukraina)," kata Budanov, dilansir Aljazirah, Senin (28/3/2022).
Baca juga : Jerman Serukan Pemerataan Pengungsi Ukraina di Uni Eropa
Korea Utara dan Korea Selatan secara teknis masih berperang setelah konflik 1950-1953 berakhir dengan gencatan senjata daripada perjanjian damai. Konflik ini berujung pada pembagian semenanjung dengan perbatasan yang tidak bisa ditembus. Perbatasan kedua Korea adalah area seluas 4 kilometer dengan panjang 248 kilometer yang dikenal sebagai zona demiliterisasi (DMZ).
Operasi militer Rusia di Ukraina telah berlangsung selama lebih dari empat pekan. Dalam operasi militer itu, Rusia telah gagal untuk merebut kota besar Ukraina. Pada Jumat (25/3/2022), Moskow memberi isyarat bahwa mereka mengurangi ambisinya dan fokus mengamankan wilayah Donbas di Ukraina timur. Wilayah Donbas dikuasai oleh separatis yang didukung Rusia. Pasukan di Donbas telah memerangi tentara Ukraina selama delapan tahun terakhir.
"Para penjajah akan mencoba untuk menyatukan wilayah yang diduduki menjadi satu entitas kuasi-negara, yang akan menentang Ukraina merdeka. Kami sudah melihat upaya untuk menciptakan otoritas 'paralel' di wilayah pendudukan dan memaksa orang untuk menyerahkan mata uang Ukraina," kata Budanov.
Budanov juga mengatakan, Rusia mencoba memasang koridor darat ke Krimea. Tetapi rencana itu sejauh ini terhalang oleh kegagalan Rusia merebut kota pelabuhan, Mariupol. Kota Mariupol telah dikepung oleh pasukan Rusia selama lebih dari tiga minggu dan menghadapi pemboman tanpa henti. Pihak berwenang Mariupol pekan lalu menolak ultimatum dari pasukan Rusia untuk meletakkan senjata mereka.
Baca juga : Sering Buat Pernyataan Anti-Muslim, Kandidat Sayap Kanan Prancis Berbalik Minta Dukungan
Seorang pemimpin lokal di Republik Rakyat Luhansk yang memisahkan diri dari Ukraina mengatakan, wilayah tersebut dapat segera mengadakan referendum untuk bergabung dengan Rusia, seperti yang terjadi di Krimea setelah Rusia merebut semenanjung Ukraina pada 2014. Rakyat Krimea memilih untuk memutuskan hubungan dengan Ukraina dan bergabung dengan Rusia.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Ukraina, Oleg Nikolenko, mengatakan, pihaknya menolak pembicaraan tentang referendum di Ukraina timur. "Semua referendum palsu di wilayah yang diduduki sementara adalah batal demi hukum, dan tidak akan memiliki validitas hukum," kata Nikolenko kepada kantor berita Reuters.