REPUBLIKA.CO.ID., MOSKOW -- Rusia tidak akan mengirimkan gas ke Eropa secara gratis, kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov pada Senin (28/3/2022).
Menjawab pertanyaan pada briefing harian di Moskow apa yang akan dilakukan Rusia jika Eropa menolak untuk membayar pengiriman gas dalam rubel, Peskov mendesak untuk "menyelesaikan masalah yang akan datang."
"Proses pengiriman sangat, sangat rumit, ini bukan membeli beberapa produk di toko -- Anda membeli dan membayar di kasir. Ini adalah pengiriman, pembayaran, dan neraca, ini adalah proses yang diperpanjang waktunya. Sekarang semua modalitas sudah tersedia. sedang dikerjakan antar departemen, dengan Gazprom.”
"Tetapi fakta bahwa kami tidak akan memasok gas secara gratis adalah tegas. Ini dapat dikatakan dengan kepastian yang mutlak. Dalam situasi kami, hampir tidak mungkin dan hampir tidak disarankan untuk terlibat dalam kegiatan amal pan-Eropa," sebut Peskov.
Presiden Rusia Vladimir Putin pada Senin menginstruksikan pemerintah, Bank Sentral, dan perusahaan Gazprom untuk beralih ke rubel pada 31 Maret untuk pembayaran pengiriman gas ke "negara-negara yang tidak bersahabat."
Pada 7 Maret, pemerintah Rusia mengeluarkan daftar negara yang "mengambil tindakan tidak bersahabat terhadap Rusia, perusahaan, dan warganya," mengacu pada sanksi ekonomi yang diberlakukan di tengah perang Rusia-Ukraina.
Menurut dekrit yang diterbitkan di situs pemerintah, daftar tersebut mencakup Albania, Andorra, Australia, Inggris Raya, termasuk Jersey, Anguilla, Kepulauan Virgin Britania Raya, Gibraltar, negara-negara anggota Uni Eropa (UE), Islandia, Kanada, Liechtenstein, Mikronesia, Monako, Selandia Baru, Norwegia, Korea Selatan, San Marino, Makedonia Utara, Singapura, AS, Taiwan, Ukraina, Montenegro, Swiss, dan Jepang.
AS dan sekutunya "secara langsung" mendeklarasikan "perang hibrida total" melawan Rusia, imbuh Lavrov.
"Barat tidak menyembunyikan tujuan konfrontasi ini, untuk menghancurkan ekonomi Rusia, merusak stabilitas politik domestik dan, pada akhirnya, secara signifikan melemahkan Rusia," lanjut dia.
Negara-negara Barat telah mencapai titik "bandit negara secara langsung," seperti melakukan penyitaan properti pribadi, dan penolakan kewajiban di bidang keuangan dan ekonomi, kata Lavrov.
Perang Rusia-Ukraina, yang dimulai pada 24 Februari, telah menimbulkan kemarahan internasional di mana Uni Eropa, AS, dan Inggris menerapkan sanksi keuangan yang keras terhadap Moskow.
Setidaknya 1.119 warga sipil telah tewas di Ukraina dan 1.790 terluka, menurut perkiraan PBB, yang mana angka sebenarnya dikhawatirkan jauh lebih tinggi.
Lebih dari 3,8 juta orang Ukraina juga telah melarikan diri ke negara-negara tetangga, dengan jutaan lainnya mengungsi di dalam negeri, menurut badan pengungsi PBB.