Kamis 31 Mar 2022 16:55 WIB

Wamenkumham: Pemerkosaan tak Masuk RUU TPKS

Kasus pemerkosaan hanya diatur di RKUHP untuk menghindari tumpang tindih.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Ilham Tirta
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej (kiri).
Foto: Antara/Galih Pradipta
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy menjelaskan, tidak akan ada tumpang tindih antara rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Karenanya, perkosaan tak masuk dalam RUU TPKS, melainkan di RKUHP.

"Saya mampu meyakinkan satu ini tidak akan pernah tumpang tindih dengan RKUHP, karena kita membuat matriks ketika akan menyusun RUU TPKS. Khusus memang mengenai pemerkosaan itu sudah diatur rinci di dalam RUU KUHP," ujar Eddy dalam rapat dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR, Kamis (31/3/2022).

Baca Juga

Dalam Pasal 245 RKUHP dijelaskan, setiap orang yang melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, perkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis, pidana ditambah dengan 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidananya. Sementara dalam Pasal 455 RKUHP, pidana penjara paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Pasal 455 RKUHP mengatur soal orang yang mengancam dengan kekerasan secara terang-terangan dengan tenaga bersama yang dilakukan terhadap orang atau barang, suatu tindak pidana yang mengakibatkan bahaya bagi keamanan umum terhadap orang atau barang, dan perkosaan atau dengan perbuatan cabul. Kemudian, suatu tindak pidana terhadap nyawa orang, penganiayaan berat, dan pembakaran.

Eddy pun mencontohkan aborsi yang dihapus dari RUU TPKS dan sudah diatur rinci dalam Pasal 469 RKUHP. Dalam Pasal 469 Ayat 1 RKUHP dijelaskan, setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Dalam Ayat 2 dijelaskan, setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Sedangkan dalam Ayat 3, jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.

"Pemaksaan itu kan artinya tanpa persetujuan, di dalam RKUHP itu perempuan yang tanpa persetujuannya kemudian dilakukan pengguguran janin dan sebagainya masuk dalam konteks tindak pidana," ujar Eddy.

Anggota Baleg Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Luluk Nur Hamidah meminta pemerintah memastikan pasal terkait perkosaan diatur detail dalam RKUHP. Pasalnya, perkosaan atau pemaksaan hubungan seksual adalah jantung kekerasan seksual.

"Dulu ketika ini diusulkan juga menimbang ada ratusan ribu korban yang tidak bisa mendapatkan keadilan, karena ternyata KUHAP tidak dapat menjawab hal itu," ujar Luluk.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement