REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) menilai tidak semua pengguna narkotika memerlukan rehabilitasi, apalagi yang bersifat wajib dan berbasis hukuman.
"Tidak semua pengguna narkotika membutuhkan rehabilitasi. Negara-negara yang berhasil mereformasi kebijakan narkotikanya pun tidak menghadirkan rehabilitasi wajib. Mereka mengedepankan penilaian derajat keparahan yang bersifat komprehensif pada domain kesehatan, sosial, dan ekonomi untuk menentukan intervensi yang tepat," kata peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (2/4/2022).
ICJR merupakan salah satu organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam JRKNuntuk bergerak dalam reformasi kebijakan narkotika di Indonesia. Merujuk pada World Drug Report 2021, Maidina menyebutkan hanya 13 persen pengguna narkotika yang penggunaannya bermasalah. Sehingga data itu menegaskan bahwa tidak semua pengguna narkotika membutuhkan rehabilitasi wajib.
Selain itu, JRKN juga memberikan beberapa catatan untuk menanggapi rapat kerja antara Komisi III DPR dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (31/3).
Salah satunya adalah terkait pendapat Pemerintah yang menyadari kelebihan kapasitas (overcrowding) di rumah tahanan dan lembaga permasyarakatandisebabkan oleh kebijakan yang memberi hukum pidana penjara terhadap pengguna narkotika.
Dalam rapat dengan DPR tersebut, Pemerintah memberikan solusi berupa rehabilitasi proses hukum, yang merupakan rehabilitasi berbasis hukuman kepada para pengguna narkotika.
Menurut JRKN, solusi itu belum sepenuhnya tepat karena justru berpotensi membuat persoalan kelebihan kapasitas yang semula ada di rutan dan lapas menjadi berpindah ke tempat-tempat rehabilitasi.
JRKN juga menilai rehabilitasi wajib bagi pengguna narkotika bertentangan dengan pendekatan yang menjunjung tinggi HAM, kesehatan masyarakat, dan pengurangan dampak buruk.
"Untuk mengatasi persoalan tersebut, JRKN memperkenalkan skema Intervensi Kesehatan terhadap Pengguna Narkotika, yang mendukung pendekatan reformasi kebijakan narkotika, agar sejalan dengan konstitusi negara yang menjunjung tinggi HAM, kesehatan publik, dan pengurangan dampak buruk," katanya.
Skema yang merupakan bentuk dekriminalisasi pengguna narkotika di Indonesia itu menjamin setiap orang, yang kedapatan menguasai atau pun memiliki narkotika dalam jumlah ambang batas harian satu sampai tujuh hari, tidak menjadi subjek dari proses pidana.
Mereka bisa dikirimkan kepada panel asesmen di tingkat puskesmas, yang terdiri dari dua tenaga ahli kesehatan dari fasilitas kesehatan terkait dan seorang dari komunitas atau konselor adiksi, menurut dia.
"Panel ini yang akan menentukan intervensi apa yang dapat diberikan kepada orang yang menggunakan narkotika tersebut," ujar Maidina.