REPUBLIKA.CO.ID, GAZA CITY -- Nama Abu Husam Haniyeh dikenal sebagai muazin Masjid Agung Omari di Kota Gaza. Masjid ini merupakan tertua kedua di Palestina, setelah Masjid Al-Aqsa di Yerusalem, yang berusia setengah abad.
Haniyeh memulai perjalanannya mengumandangkan adzan sebagai relawan. Sekarang, menurut data dari Kementerian Wakaf dan Urusan Agama, dia adalah muazin tertua di Jalur Gaza.
“Ketika saya mulai sebagai muadzin, saya tidak menyangka hidup saya akan diperpanjang selama bertahun-tahun dan nama saya akan dikaitkan dengan masjid kuno yang agung ini,” katanya dikutip di Arab News, Selasa (5/4).
Pria berusia 85 tahun ini masih ingat beberapa dekade lalu, saat pertama kali dia mengangkat mikrofon di Masjid Omari dan mengumandangkan adzan. Hal ini ia lakukan setelah meminta izin dari mantan muazin resmi.
“Itu adalah pengalaman luar biasa yang tidak akan pernah saya lupakan, dan setelah kematian Abu Al-Said, saya menggantikannya sebagai muazin resmi,” lanjutnya.
Haniyeh tetap menjadi sukarelawan, menyuarakan adzan untuk shalat lima waktu, sampai berdirinya Otoritas Palestina pada tahun 1994. Gaji yang ia terima pada catatan muazin di Kementerian Wakaf, sekitar 155 dolar AS atau Rp 2.222.080.
“Aku tidak mencari pahala di dunia, karena pahala muazin ada di sisi Allah SWT dan pahalanya besar di hari kiamat. Kami muadzin, merupakan suara Tuhan di muka bumi, kami menyeru manusia untuk beribadah dan meninggalkan kenikmatan hidup ini,” ujar dia.
Sepanjang hari, ia tinggal di Masjid Omari, yang bersebelahan dengan rumahnya di lingkungan kuno Al-Daraj, Gaza tua. Dia tidak pergi keluar, kecuali untuk waktu-waktu terbatas yang dia habiskan bersama keluarga.
Dia menyebut menemukan kenyamanan di dalam masjid, terutama selama bulan Ramadhan. Di momen ini, dia akan menghabiskan waktu dengan membaca Alquran dan bertukar percakapan dengan orang lain dari generasinya, mengingat kenangan masa lalu.
Haniyeh berasal dari keluarga pengungsi yang terpaksa meninggalkan Jaffa selama tragedi Nakba 1948. Setelahnya, ia tidak kembali ke sekolah dan keluarganya mencari perlindungan di Kota Gaza.
Setelah kepindahannya, ia lantas bekerja sebagai tukang kayu, menikah dan memiliki tiga putra dan tiga putri. Ia menyebut ingin kembali ke Jaffa dan mengumandangkan adzan di Masjid Al-Aqsha yang diberkahi.
“Saya ingat semuanya dari hari-hari ketika di Jaffa, rumah yang biasa kami tinggali, perjalanan ayah dengan kereta api ke Mesir dan dari sana ke Arab Saudi untuk menunaikan haji, meriam buka puasa, banyak teman kami dulu. Kami bersenang-senang dan bermain bersama di gang-gang dan di pantai,” kata dia.
Hubungan Haniyeh dengan Masjid Omari selama beberapa dekade telah membuatnya menjadi ahli dalam sejarah masjid. Ini adalah masjid tertua kedua di Palestina yang bersejarah setelah Masjid Al-Aqsha, sekaligus terbesar ketiga setelah Masjid Al-Aqsha dan Ahmed Pasha Al-Jazzar di kota Acre.
Masjid ini dapat menampung sekitar 5.000 jamaah, yang mencapai puncaknya di bulan Ramadhan, terutama selama sepuluh malam terakhir bulan ini. Luas Masjid Omari adalah 4.100 meter persegi.
Bangunan pertama yang didirikan di situs ini, sebagai kuil pagan, berusia sekitar 3.700 tahun. Itu tetap demikian sampai Romawi mendirikan "Gereja Porphyrios" di atas reruntuhannya setelah pendudukan mereka di Levant pada tahun 407 M.
Gereja tetap ada sampai penaklukan Islam atas Gaza pada 634 M, ketika mayoritas warga Gaza masuk Islam, kecuali beberapa yang tetap menjadi Kristen.
Disepakati antara penduduk untuk membangun sebuah masjid di area yang lebih besar dari situs, serta sebuah gereja untuk minoritas Kristen di area yang lebih kecil. Bangunan itu masih ada sampai sekarang dan menyandang nama yang sama dengan Gereja Ortodoks Saint Porphyrios.
Sumber:
https://www.arabnews.com/node/2056891/middle-east