REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Kementerian luar negeri Irak memanggil utusan Swedia ke Ibu Kota Baghdad untuk memprotes demonstrasi pembakaran Alquran yang terjadi di negara tersebut. Pemanggilan itu sebagai bentuk protes atas perlakuan kelompok ekstremis sayap kanan Swedia yang membakar kitab suci umat Islam.
Dilansir dari The New Arab, Ahad (17/4/2022), Irak mengecam insiden pembakaran Alquran dan menyebutnya sebagai provokasi terhadap perasaan umat Islam dan pelanggaran yang sangat sensitif. "Kami mendesak pemerintah Swedia untuk menghentikan tindakan memecah belah yang dimaksudkan untuk memprovokasi perasaan kelompok agama," kata pernyataan itu.
Pemimpin sayap kanan Denmark-Swedia Rasmus Paludan sedang melakukan tur ke Swedia, di mana ia telah merencanakan beberapa aksi pembakaran Alquran selama bulan suci Ramadhan di lingkungan yang dikenal sebagai tuan rumah komunitas Muslim yang besar.
Bentrokan meletus pada hari Kamis menjelang salah satu aksi unjuk rasa ini, yang didampingi oleh polisi Swedia yang melindungi Paludan dan simpatisannya. Kerusuhan pecah ketika polisi mengabaikan seruan penonton untuk menghentikan Paludan. Protes kemudian menyebar ke beberapa kota Swedia dan masih berlangsung pada hari Minggu.
Salinan Alquran adalah suci bagi umat Islam, yang menganggap buku itu sebagai transkripsi literal firman Tuhan. Beberapa faksi politik Irak menyatakan kemarahan atas pembakaran publik.
Muqtada al-Sadr, pemimpin gerakan Sadrist - salah satu kelompok politik Syiah terbesar di Irak - meminta pemerintah Irak pada hari Sabtu untuk memanggil utusan Swedia, dan berjanji untuk mengorganisir protes jika permintaan ini tidak dipenuhi.
Paludan, yang mengepalai partai sayap kanan anti-Islam Stram Kurs (Garis Keras), memiliki sejarah panjang menodai Alquran di depan umum untuk menyinggung anggota minoritas Muslim dan memicu ketegangan antara komunitas lokal. Pada September 2020, dia dilarang memasuki Swedia selama dua tahun setelah mengorganisir aksi pembakaran Alquran ilegal lainnya.
Swedia yang sangat menekankan kebebasan beragama dan berpendapat, tidak selalu melarang unjuk rasa semacam ini meskipun sifatnya sangat ofensif terhadap Umat Muslim. Negara Skandinavia ini adalah rumah bagi sekitar 200.000 orang Irak generasi pertama dan kedua, menurut angka resmi.