REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir mengataka bahwa Alquran adalah kitab hidayah dan kitab ilmu pengetahuan. Maka cintailah Alquran sebagai kitab hidayah dan kitab ilmu. Manusia juga dibimbing oleh Alquran untuk berpikir jernih, itulah kehebatan Alquran.
Ia menerangkan, ada kata tafakur, tadabur, dan tasyakur dalam Alquran. Alquran juga menyebut kata 'ulul albab'. Artinya betapa Alquran adalah kitab akal pikiran yang mengajari manusia berpikir jernih, sehingga lahir pikiran-pikiran yang jernih.
Allah itu Ar Rahman dan Ar Rahim sehingga manusia diberi anugerah akal qalbu dan akal pikiran. Dengan akal pikiran manusia bisa berimajinasi sangat luar biasa, kemampuan ini tidak diberikan kepada makhluk lain karena itu manusia diangkat menjadi khalifah.
"Tetapi mau atau tidak kita menggunakan akal pikiran itu, akal pikiran yang jernih dan bukan akal pikiran yang sembarangan," kata Haedar dalam acara Kajian Daring Ramadhan Website Muhammadiyah bertema 'Memaknai Peringatan Nuzulul Quran' beberapa waktu lalu.
Dia menerangkan, Alquran juga menyangkut nilai-nilai ilmu dan ilmu pengetahuan. Begitu luas ilmu pengetahuan yang ada dan terkandung dalam Alquran.
Maka umat Islam terlebih generasi muda dan anak-anak dari generasi milenial cintailah Alquran sebagai kitab hidayah. Tapi pada saat yang sama cintailah Alquran sebagai kitab ilmu. Bacalah Alquran dengan maknanya, tafsirnya dan dikontekskan dengan kehidupan.
"Islam mampu membangun peradaban ketika Barat masih gelap itu karena Alquran sebagai kitab ilmu pengetahuan," ujarnya.
Haedar menyampaikan, wahyu pertama yang diterima Rasulullah Nabi Muhammad SAW adalah 'Iqro' atau Surah Al 'Alaq. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan (Surah Al 'Alaq Ayat 5).
Ayat tersebut bukan sekedar membaca tetapi tetapi juga berpikir dan menghimpun segala macam hal. Membaca Alquran dan seluruh yang ada di alam semesta serta lain sebagainya. Wahyu pertama yang diterima Rasulullah itu ada dimensi akal pikiran dan ilmu pengetahuan yang dahsyat.
"Saya yakin kalau setiap orang Islam itu cinta ilmu dan cinta akal pikiran yang jernih. Lalu merujuk dan mengkaji Alquran seluas-luasnya, itu akan menjadi generasi khairu ummah yang luar biasa," jelasnya.
Haedar mengingatkan, dalam memahami Alquran itu tidak cukup dengan bayani atau tekstual saja. Tapi perlu juga dipahami dengan burhani atau akal pikiran, ilmu pengetahuan serta konteksnya. Bahkan memahami Alquran perlu dengan irfani, yakni pendekatan keruhanian.
Alquran yang begitu agung dan komprehensif adalah kitab untuk seluruh umat manusia sampai akhir zaman. Maka tidak cukup mempelajarinya hanya dengan satu pendekatan. Kadang ada yang hanya menggunakan pendekatan tekstual, itupun terbatas pada satu atau dua ayat dan tidak dikaitkan dengan ayat lain.
"Akibatnya pemahaman kita terbatas lalu kita gagap ketika kita menghadapi darurat virus corona (Covid-19), terbukti di antara kita masih belum bisa menggunakan agama sebagai solusi di saat darurat," ujarnya.
Terjadi perbedaan pandangan. Kalau perbedaan itu terjadi dalam situasi kehidupan normal tidak masalah. Tapi bila terjadi saat darurat pandemi Covid-19 tentu akan membahayakan orang lain jika memaksakan diri bersama-sama ke masjid dan melupakan dampak bahayanya terhadap orang lain.
"Ketika banyak orang menderita akibat wabah ini kita harus terpanggil. Di situlah nilai-nilai Islam itu muncul dalam bentuk ihsan sehingga agama bukan ritual ibadah saja tapi juga amal shaleh dan kesalehan sosial," kata Haedar.
Ia mengatakan, dalam banyak hal agama harus menjadi arah hidup manusia sehari-hari. Karena manusia sudah punya patokan yakni Alquran sebagai kitab hidayah dan kitab ilmu. Kehidupan sehari-hari juga terbimbing oleh agama Islam, Alquran dan sunnah Nabi. Tetapi juga mengalami proses ijtihad dalam kehidupan sesuai dengan kebutuhannya.