Jumat 20 May 2022 15:26 WIB

6.443 Sapi di Jatim Terinfeksi PMK, Dinas Peternakan: Belum Ada Anggaran Khusus Obat PMK

Jatim sebenarnya sudah lama bebas dari penyakit PMK.

Rep: dadang kurnia/ Red: Hiru Muhammad
Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat melalui Kapolsek Kromengan AKP Heri Eko Utomo melakukan deteksi terkait Wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada hewan ternak di Kabupaten Malang, Rabu (11/5/2022). Hal ini perlu dilakukan mengingat wabah PMK sudah menyebar di beberapa daerah wilayah Jawa Timur (Jatim). 
Foto: Dok. Polsek Kromengan
Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat melalui Kapolsek Kromengan AKP Heri Eko Utomo melakukan deteksi terkait Wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada hewan ternak di Kabupaten Malang, Rabu (11/5/2022). Hal ini perlu dilakukan mengingat wabah PMK sudah menyebar di beberapa daerah wilayah Jawa Timur (Jatim). 

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA-- Kepala Pelaksana  Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim Budi Santosa mengaku terus melakukan penyemprotan disinfektan ke sejumlah daerah, seiring meluasnya hewan ternak yang terjangkit Penyakit Mulut dan Kuku.

Berdasar data Posko PMK Pemprov Jatim sebaran PMK terdeteksi di 14 kabulaten/ kota. Total ada sebanyak 6.433 sapi terkonfirmasi terinfeksi PMK. Dari jumlah tersebut, masih ada 5.560 sapi dalam kondisi sakit, 838 ekor dinyatakan sembuh 838, dan 35 ekor mati.

Baca Juga

Budi menjelaskan, penyemprotan disinfektan di antaranya dilakukan di kandang ternak Dawar Blandong di Kabupaten Mojokerto, pasar hewan Balongpanggang dan Surojenggolo di Gresik, pasar hewan Tikung dan Babat di Lamongan, Pasar Hewan Mojoagung Jombang, Pasar Hewan dan RPH Ngoro yang juga berada di Jombang, serta Pasar Hewan dan RPH Krian di Mojokerto.

“Kami juga melakukan penyemprotan di Pasar Hewan Gempol yang berlokasi di Dusun Bandaran Desa Gempol, Pasar Hewan Pandaan yang berada di Desa Kutorejo, Kecamatan Pandaan, dan Pasar Hewan Sukorejo yang berlokasi di Desa Sukorejo Kecamatan Sukorejo,” ujar Budi, Jumat (20/5/2022).

Sekretaris Dinas Peternakan Jawa Timur, Aftabuddin mengatakan, sejauh ini pemerintah belum menyediakan anggaran khusus untuk obat PMK. Ia menjelaskan, belum adanya anggaran khusus untuk obat PMK karena Jatim sebenarnya sudah lama bebas dari penyakit PMK.

“Saat ini penanganan PMK terus diintensifkan. Daerah-daerah yang telah terjangkit kasus PMK langsung diisolasi. Pembatasan pengiriman ternak juga diperketat. Sementara daerah yang belum ada kasus masih diberi kelonggaran,’’ ujarnya.

Aftabuddin menilai pengobatan hewan terjangkit PMK sejauh ini menunjukkan perkembangan positif. Tingkat kesembuhan sapi yang terpapar PMK di Jatim, kata dia tergolong cukup tinggi. Selain itu, tingkat mortalitas (kematian) hewan ternak akibat PMK juga cukup rendah. Hingga kini berada di kisaran 0,6 persen dari total kasus. ”Ini masih jauh dari batas mengkhawatirkan. Tingkat kematian kategori tinggi ada di 1–5 persen,” kata dia.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Airlangga (Unair) Fedik Abdul Rantam berpendapat, disinfeksi di lingkungan peternakan menjadi langkah paling tepat dalam mengantisipasi wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Penyakit mulut dan kuku, kata dia, merupakan penyakit yang menyerang hewan berkuku belah karena virus. Tingkat penularannya juga tergolong tinggi.

Penyebarannya dapat melalui berbagai cara seperti udara, makanan, kotoran yang menempel pada alas kaki, pakaian, kontak langsung, peralatan kandang, dan jarum suntik.  “Disinfeksi dapat diberikan pada kandang. Ini menjadi upaya memutus dan mencegah penularan virus penyebab PMK secara lebih luas,” kata Fedik.

Guru Besar bidang virologi dan imunologi tersebut menerangkan, peternak dapat memilih beragam jenis disinfektan. Misalnya, Kalsium Karbonat 3 persen; KMNO4 3 persen; Formaldehyde 1 persen; Sodium hypochlorite 3 persen; Sodium hydroxid 2 persen; Sodium Karbonat 4 persen; Citric Acid 0,2 persen; atau Sodium Chlorite 1 persen.  “Tidak perlu menggunakan semua jenis disinfektan, namun salah satu saja,” ujarnya.

Fedik menjelaskan, dari berbagai disinfektan yang ada, terdapat beberapa jenis bahan yang kemungkinan mengalami resistensi terhadap virus tersebut. Misalnya, Chlorine Dioxide dan Iodophores. “Untuk disinfektan berbahan Chlorine Dioxide dan Iodophores masih memiliki kemungkinan untuk virus mengalami resistensi (kurang efektif)” kata dia.

Fedik menyampaikan, disinfektan dapat dibuat sendiri oleh peternak. Terutama bagi peternak di daerah yang tidak mendapat disinfektan komersial. Salah satunya menggunakan kaporit dengan suspensi 10 persen, lalu diencerkan menjadi 2 persen supaya lebih ringan. Selain itu, penggunaan disinfeksi dosis rendah akan menarget virus secara langsung.“Kaporit tidak berefek buruk bagi hewan, namun kalo terlalu tinggi kadarnya menjadi oksidator sehingga alat (berbahan besi) menjadi berkarat,” kata dia.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement