REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengusulkan pajak kendaraan dihapus dan dialihkan ketika pemilik kendaraan membeli bahan bakar minyak (BBM). Ia juga mengusulkan penerbitan Surat Ijin Mengemudi (SIM) dialihkan dari Kepolisian RI ke Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Usulan atau masukan itu ditujukan kepada Komisi V DPR RI yang saat ini tengah melaksanakan penyusunan pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (RUU LLAJ).
"Kami mengusulkan dana preservasi ini bisa dipungut saat konsumen membeli BBM. Saya kira lebih adil ketika konsumen membeli BBM dikenakan dana preservasi," tegas Tulus kepada wartawan, Ahad (5/6/2022), seraya merujuk pada usulan YLKI yang disampaikan kepada Komisi V DPR RI.
Ia mengungkapkan, pajak kendaraan bisa dihapus dan dialihkan pada saat membeli BBM agar tidak terjadi dobel pungutan. YLKI menyebutkan selama ini pemerintah kesulitan menaikkan harga BBM karena tingkat konsumsi masyarakat nyaris tidak terkendali.
Dengan adanya peralihan ke pembelian BBM, dalam pandangan YLKI akan mengendalikan tingginya konsumsi masyarakat terhadap BBM. Dengan terkendalinya konsumsi BBM secara langsung akan menekan tingkat pencemaran yang disebabkan oleh kendaraan. Selain itu, melalui pembelian BBM itu nantinya pengelolaan dana preservasi jalan akan lebih maksimal.
Dana preservasi jalan sendiri meruju pada UU LLAJ adalah dana yang khusus digunakan untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi dan rekonstruksi jalan secara berkelanjutan sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Terkait hal itu pula, YLKI menekankan pentingnya sinergi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Sebab lalu lintas dan angkutan jalan tidak semata soal pengaturan transportasi dan penindakan hukum, tetapi juga terkait dengan tata ruang.
"Angkutan jalan perlu disinergikan dengan tata ruang, karena itu tidak terpisahkan antara angkutan jalan dengan tata ruang. Jadi bukan hanya di Kementerian Perhubungan tapi juga disinergikan dengan PUPR misalnya," kata Tulus.
Mengenai angka kecelakaan yang disebabkan banyak faktor, diantaranya infrastuktur jalan hingga kendaraan, YLKI menyebut masih ada yang luput dari pengawasan. Yakni karena faktor penerbitan Surat Ijin Mengemudi (SIM).
"Kami menengarahi, sampai detik ini penerbitan SIM masih banyak hal-hal yang kurang fair. Sehingga fenomena-fenomena yang sudah tidak relevan dilakukan. Kami mengusulkan proses bisnis penerbitan SIM direview, dikaji kembali," kata Tulus Abadi.
"Idealnya, proses SIM ini tidak seratus persen menjadi wewenang kepolisian, baik dalam konteks uji SIM, penerbitan ataupun penegakan hukum. Kami mengusulkan, penerbitan SIM bisa diposting di sektor perhubungan," sambungnya.
Kepolisian tidak serta merta lepas sepenuhnya, namun keterlibatannya dalam hal ini lebih pada penegakan hukumnya. Sementara proses uji dan penerbitan SIM berada di Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sehingga ada balance dan akuntabilitas.
Ia menambahkan, YLKI memberikan concern pada asas keadilan dalam pelayanan lalu lintas. Karenanya YLKI mengusulkan agar asas keadilan jika nantinya RUU LLAJ benar-benar masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun ini dimasukkan dalam draft. Berikut mengenai narasi perlindungan bagi konsumen.
Masukan berikutnya terkait pengendalian kendaraan bermotor, khususnya sepeda motor. YLKI berpendapat, keberadaan atau kepemilikan kendaraan roda dua di Indonesia merupakan fenomenanya yang sangat mengkhawatirkan. Ironisnya hal itu kadang-kadang tidak menjadi perhatian. Keberadaanya lebih dilihat karena faktor aksesibilitas.
Padahal, kata Tulus, dampak dari membludaknya kendaraan roda dua adalah tingginya angka kecelakaan di Indonesia. YLKI memberikan perhatian serius, khususnya di kota-kota besar di Indonesia. Bukan hanya kecelakaan, tetapi juga menyangkut angka kemacetan, polusi atau pencemaran udara sampai tingginya konsumsi BBM.
"Makanya ketika pemerintah akan menaikkan BBM itu susah, karena memang terkendala oleh kelompok low income yang menggunakan sepeda motor sehingga rentan akan terjadinya gelojak dan sebagainya," jelasnya.
Kepada Komisi V, YLKI menyampaikan tidak setuju jika kendaraan roda dua dijadikan angkutan umum sebab tidak memenuhi syarat teknis dan aspek keselamatan dan keamanan. Memang, keberadaan ojek online maupun konvesional adalah sebuah keniscayaan, namun pengaturannya cukup dengan peraturan yang levelnya dibawah Undang-Undang.
Soal teknis lainnya yang disampaikan Tulus yakni terkait kendaraan modifikasi bagi difabel. Ia mengusulkan agar kendaraan dengan modifikasi oleh difabel tidak dikenai sanksi atau dikategorikan melanggar hukum. Dengan catatan, modifikasi tidak berlebihan dan mengedepankan unsur keselamatan.