REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menilai, jumlah anak banyak dalam satu keluarga sebagai penyumbang tingginya angka prevalensi stunting.
Hal tersebut disampaikan Kepala BKKBN dr Hasto Wardoyo, Ahad (5/6/2022) menanggapi viralnya “kampung banyak anak” di Kampung Siderang Legok, Desa Cintanagara, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat.
Di kampung yang mayoritas warganya bekerja sebagai petani musiman itu, rata-rata satu keluarga memiliki anak lebih dari 10 orang dari satu pasangan suami-istri. “Ini persoalan serius yang harus disikapi dan dicarikan jalan keluarnya. Provinsi Jawa Barat memiliki populasi tertinggi di Pulau Jawa dan Jawa Barat juga memiliki prevalensi stunting tinggi dengan angka 24 persen lebih,” kata Hasto.
Menurut Hasto, fenomena kampung banyak anak tersebut memiliki korelasi dengan angka prevalensi stunting di Jawa Barat yang tinggi. “Jawa Barat masuk dalam 12 provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi,” kata Hasto.
Tingginya prevalensi stunting di Jawa Barat menurut Hasto disebabkan karena jumlah anak yang banyak dalam satu keluarga, rentang waktu kelahiran yang cukup rapat, serta pernikahan dini.
“Data yang diperoleh BKKBN, selama pandemi Covid-19, pernikahan dini di Jawa Barat jumlahnya mengalami peningkatan. Padahal perkawinan usia dini menyebabkan tingginya risiko kematian ibu dan bayi yang dilahirkan serta bayi yang stunting karena ketidakcukupan nutrisi selama kehamilan,” jelas Hasto.
Stunting yakni kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi, infeksi berulang, dan stimulasi lingkungan yg kurang mendukung. Kondisi ini berefek jangka Panjang hingga lanjut usia. Stunting berdampak sangat buruk bagi masa depan anak-anak.
Berdasarkan pendataan yang dilakukan BKKBN, hingga saat ini satu dari empat balita di Indonesia mengalami stunting. Bahkan ada 21,9 juta keluarga dari 66,4 juta keluarga di Indonesia yang berisiko stunting.Karena itu Hasto mengajak masyarakat untuk membuang jauh pola pikir “banyak anak itu banyak rejeki”. “Kondisi saat ini sangat berbeda dengan dahulu. Sekarang kalau banyak anak maka banyak masalah,” kata Hasto.
Provinsi Jawa Barat menurut data di BKKBN memiliki TFR (total fertility rate) tertinggi di Indonesia. Karena itu Hasto berharap Pemerintah Provinsi Jawa Barat terus mempertahankan dukungannya terhadap Penyuluh KB non-PNS.
Hasto menjelaskan, masyarakat perlu memperbarui paradigma tentang KB (keluarga berencana). “Masyarakat jangan hanya berpikir kalau KB itu kaitannya dengan alat kontrasepsi. Masyarakat harus berpikir bahwa KB adalah perencanaan keluarga dan juga perencanaan masa depan anak-anak,” jelas Hasto.
Hasto juga mengatakan banyaknya anak dalam satu keluarga bukanlah merupakan bonus demografi. Bonus demografi bisa dicapai jika jumlah penduduk yang produktif lebih banyak dibanding jumlah penduduk yang tidak produktif. Bonus demografi itu menghasilkan kesejahteraan.
“Jadi jika dalam satu keluarga punya banyak anak namun yang bekerja hanya satu orang, misalnya hanya bapaknya saja dan yang lain menjadi tanggungan karena masih kecil-kecil dan belum bisa bekerja maka itu bukanlah bonus demografi. Ini malah malapetaka demografi,” jelasnya.
Lebih jauh Hasto menjelaskan Pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 3 tahun 2022 tentang Kampung Keluarga Berkualitas (Kampung KB). Implikasi dari adanya Inpres Kampung KB ini maka akan tercipta unit-unit keluarga yang mandiri, tenteram, dan damai.