REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengambil alih 1,1 juta hektare area hutan di Pulau Jawa, yang sebelumnya dikelola Perum Perhutani, dikritik banyak kalangan, mulai dari pegiat lingkungan hingga legislator. Keputusan itu diyakini bakal mengakibatkan deforestasi dan memicu konflik sosial karena sebagian hutan tersebut bakal dijadikan perhutanan sosial.
Pengambilalihan 1,1 juta hektare (ha) Hutan Produksi dan Hutan Lindung itu termaktub dalam SK Menteri LHK Nomor 287 yang ditetapkan pada 5 April 2022. SK itu menyatakan bahwa 1,1 juta ha hutan yang tersebar di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten beralih status menjadi Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).
Kritik atas kebijakan tersebut datang pertama kali dari Forum Penyelamat Hutan Jawa (FPHJ), kelompok yang berisikan sejumlah organisasi pegiat lingkungan. FPHJ bahkan telah melayangkan petisi, yang berisikan desakan agar keputusan itu dibatalkan, kepada Presiden Joko Widodo pada akhir Mei. Mereka juga sudah mengadukan persoalan ini kepada Komisi IV DPR.
Ketua FKHJ Eka Santosa mengatakan, rencana KLHK membagi-bagikan area hutan tersebut kepada masyarakat dalam skema perhutanan sosial, akan mengakibatkan deforestasi. "Di satu pihak kita pegiat lingkungan berusaha menambah jumlah hutan lindung, di pihak lain hutan malah dibagi-bagikan (oleh pemerintah)," ujarnya kepada Republika, Rabu (8/6).
Eka meyakini, deforestasi bakal terjadi karena dirinya telah menemukan beberapa perhutanan sosial hasil kebijakan sebelumnya yang hutannya habis. Eka pun mengirimkan sejumlah bukti-bukti kepada Republika.
Dia mengirimkan, foto kwitansi jual-beli lahan yang diduga perhutanan sosial, senilai Rp 60 juta dan Rp 165 juta di Karawang, Jawa Barat. Dia juga memperlihatkan foto area diduga perhutanan sosial yang telah berganti menjadi tempat penampungan limbah B3 di Karawang.
Selain berpotensi mengakibatkan deforestasi, kata Eka, pembagian area hutan kepada masyarakat juga bakal memicu konflik. Sebab, 1,1 juta ha hutan itu sebelumnya dikelola Perum Perhutani bersama masyarakat yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).
"LMDH itu kan juga masyarakat. Kalau hutan itu mau dibagikan kepada rakyat, rakyat yang mana dulu. Wong selama ini LMDH bermitra baik dengan Perhutani di lapangan. Ya pasti konflik lah di lapangan (antara LMDH dengan masyarakat yang mendapatkan perhutanan sosial)," kata Eka.