REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Haper) dinilai harus mengakomodir tiga aspek. Aspek penting tersebut adalah berdimensi inklusif, kemudahan, dan kekinian.
"RUU Haper harus bisa memberikan perlindungan bagi masyarakat dalam menghadapi sengketa hukum keperdataan, ekonomi dan perdagangan dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan secara transparan, objektif, dan berkeadilan," ujar Ketua Umum ILUNI FHUI Rapin Mudiardjo, Kamis (16/6/2022).
RUU Haper saat ini masuk dalam Prolegnas Prioritas 2022 dan sedang dalam pembahasan di DPR. RUU ini sangatlah penting bagi masyarakat pencari keadilan dalam menyelesaikan perkara dan sengketa yang dihadapinya baik di bidang ekonomi dan sosial, termasuk di dalamnya berkaitan dengan hukum keluarga, bisnis, dan perdagangan.
Pembaharuan dalam hukum acara perdata ini tentunya akan menggantikan peraturan lama peninggalan kolonial Belanda yang sudah ketinggalan zaman. Sayangnya, pembahasan RUU ini berjalan lambat dan belum menyentuh secara optimal isu-isu yang berkenaan.
Terutama belum menyentuh tiga aspek penting. Pertama, inklusivitas. Pengaturan RUU nantinya diharapkan mengakomodir akses keadilan yang sama tanpa terkecuali, termasuk bagi masyarakat marjinal, penyandang disabilitas, masyarakat di wilayah tertinggal, terluar, terdepan dan pelaku ekonomi.
Aspek kedua adalah kemudahan. Pengaturan RUU Haper harus memberikan kemudahan akses keadilan tanpa terkecuali bagi kalangan masyarakat marjinal, penyandang disabilitas, dan masyarakat di wilayah tertinggal, terluar, terdepan dan pelaku ekonomi termasuk dalam memudahkan iklim berusaha.
Aspek terakhir adalah kekinian. Pengaturan RUU nantinya diharapkan akan mengoptimalkan penggunaan teknologi termutakhir dalam proses peradilannya, termasuk dapat melingkupi perkara dan sengketa yang bersifat lintas batas di era globalisasi ini.
RUU Haper harus menjadi peraturan utama dalam penyelesaian seluruh perkara dan sengketa di bidang keperdataan, ekonomi dan perdagangan. "Atas dasar tersebut, ILUNI FHUI mendorong pemerintah dan DPR untuk mempercepat pembahasan RUU Haper," ujar Rapin.
Hari ini ILUNI FHUI menggelar diskusi publik bertajuk 'Mendorong Reformasi Hukum Acara Perdata yang Berdimensi Kemudahan, Kekinian dan Inklusif'. Wakil Ketua MPR sekaligus anggota Komisi III DPR, Asrul Sani, mengatakan parlemen membuka diri seluasnya terhadap masukan publik terkait pembahasan RUU Haper.
Diskusi publik tersebut melibatkan narasumber dari kehakiman, pengacara, pengusaha, akademisi hingga lembaga swadaya masyarakat. Moderator diskusi yang juga Ketua Bidang Studi Perdata STHI Jentera Faiz Aziz mengatakan, dari diskusi bisa disimpulkan RUU Haper nantinya harus out of the box, inovatif, dan futuristik. "Tidak lagi bernostalgia ke belakang, bagaimana caranya harus bisa ada reformasi," katanya.
RUU Haper, sambungnya, juga harus memberi kemudahan akses bagi siapapun. Termasuk masyarakat hukum adat, kelompok disabilitas, dan masyarakat di perbatasan Indonesia.
"Lalu persoalan teknologi harus diatur agar bisa memberi dampak yang kekinian bagi publik," katanya. Terkait dengan digitalisasi, RUU Haper kemudian konteksnya harus bisa menjadi aturan hukum yang sesuai hingga 100 tahun ke depan.
Terakhir, RUU Haper harus inklusif. "Bisa diterapkan bagi seluruh warga Indonesia, bukan hanya di Jakarta. Dari Sabang sampai Merauke," katanya.
Kini total ada 1.239 daftar inventaris masalah (DIM) yang merupakan gabungan dari pemerintah dan setiap fraksi yang ada di DPR untuk pembahasan RUU Haper. Rincian DIM tersebut adalah 930 bersifat tetap, 172 bersifat redaksional, 137 bersifat substansi, dan 83 bersifat substansi baru. Pembahasan tingkat panja akan dilakukan pada masa sidang empat Tahun Sidang 2021-2022.
Hukum acara perdata saat ini merupakan peninggalan zaman kolonial Belanda. Hukum acara perdata tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Ada tiga jenis peraturan perundang-undangan hukum acara perdata yang merupakan peninggalan kolonial Belanda. Pertama adalah Burgerlijke Rechtsvordering (BRv) adalah untuk golongan Eropa. Kedua adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk golongan Bumiputera dan Timur Asing di Jawa dan Madura yang berperkara di muka Landraad.