Rabu 18 Jan 2012 13:28 WIB

Penghapusan KRL Ekonomi Bebankan Rakyat Kecil

Rep: Adi Wicaksono / Red: Ramdhan Muhaimin
KRL ekonomi
KRL ekonomi

REPUBLIKA.CO.ID, BOJONG GEDE - Mulai April tahun ini, pemerintah berupaya meniadakan secara bertahap KRL ekonomi non-AC. Namun rencana pemerintah ditanggapi dingin sejumlah masyarakat.

Seorang pengguna KRL ekonomi, Tuti (32 tahun) mengaku sangat keberatan dengan rencana penarikan tersebut. Menurutnya, kebijakan itu sangat merugikan bagi penumpang jarak dekat. Tuti yang tinggal di Bojong Gede tiap hari menggunakan KRL ekonomi ke tempat kerjanya di Bogor. "Masa cuma lewat satu stasiun harus bayar Rp 12 ribu pulang pergi," kata Tuti ketika berbincang dengan Republika, Rabu (18/1).

Jarak antara Stasiun Bojong Gede dan Bogor tergolong dekat. Keduanya hanya dipisahkan oleh Stasiun Cilebut.

Hal serupa dirasakan Andi (28) asal Bogor. Menurut Andi, kalau boleh memilih, sejatinya ia lebih memilih menggunakan Commuter Line daripada KRL ekonomi. Selain lebih nyaman, Commuter Line dipandangnya juga lebih aman. Sayang, kondisi keuangannya tidak memungkinkan hal itu. Sebagai office boy perusahaan swasta di Jakarta, upahnya cuma sebatas besaran UMP yang tidak memberi tunjangan mewah untuk transportasi.

Tidak hanya kalangan pekerja, sebagian pelajar pun merasa keberatan. Muhammad Akrom (26), mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia (UI), mengandalkan KRL ekonomi untuk berangkat ke kampus. Kereta ini, menurutnya, merupakan moda transportasi jarak jauh yang paling terjangkau oleh masyarakat kelas bawah. "Kalau mau dihapus, itu namanya tidak pro rakyat," kata dia.

Akrom menambahkan, penghapusan KRL ekonomi hanya dapat dilakukan dengan syarat harga tiket Commuter Line disesuaikan dengan daya beli masyarakat, khususnya kelas bawah. Menurutnya, masyarakat kelas bawah harus dijadikan tolak ukur dalam pembuatan regulasi. "Orang kecil harusnya dibina, jangan malah dimatikan," ujar dia.

Menghapus KRL ekonomi sama dengan menutup keran penghasilan pedagang asongan. Mereka terancam tidak memiliki pekerjaan karena sebagian besar tidak memiliki keahlian di bidang lain. Setidaknya itulah yang dirasakan Suhadi (37). Ia mengaku tidak tahu akan bekerja apa jika dilarang berjualan. "Enggak tahu. Saya enggak ada keahlian," kata pengasong asal Bojong Gede ini.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement