REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA – Sedikitnya 60 orang dari 123 penderita thalasemia di Tasikmalaya ternyata putus sekolah atau keluar dari tempat sekolahnya karena berbagai alasan. Mulai perasaan malu menjadi penderita thalasemia, hingga kondisi sakit yang tidak memungkinkan untuk meneruskan proses belajar mengajar hingga jenjang yang lebih tinggi.
Ketua Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia (POPTI) Tasikmalaya, Affandi, mengatakan rata-rata mereka putus sekolah di jenjang Sekolah Dasar (SD) dan hingga usia dewasa tidak kembali ke sekolah. Meskipun mereka semuanya telah menguasai baca tulis dan berhitung, namun yang putus sekolah tidak satu pun yang memiliki ijazah.
“Alasan mereka putus sekolah itu beragam. Ada karena malu, ada pula karena kondisinya yang memang tidak memungkinkan. Namun, ada pula karena memang keadaan orang tuanya yang tidak mampu,” ungkap Affandi.
Melalui POPTI, Affandi berupaya terus melakukan komunikasi bersama dengan seluruh orang tua penderita thalasemia untuk memberikan pemahaman mengenai penyakit yang diderita anak-anaknya serta menekankan pentingnya pendidikan.
“Mungkin karena thalasemia itu sudah tervonis penyakit yang tidak akan sembuh, sehingga menyebabkan sebagian orang tua kurang memiliki semangat untuk membimbing dan memberikan pendidikan terhadap anak-anaknya. Hal inilah yang saya coba tekankan agar mereka tetap memiliki semangat hidup,” jelas Affandi.
Keadaan seperti itu dialami salah seorang orang tua penderita thalasemia, Didin Sanudin (42), warga Kampung Gunung Batu, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya. Anaknya, Dini Apriliani (15), harus putus sekolah pada saat duduk di bangku kelas 4 SD. Alasan anaknya tidak bersekolah karena malu dengan kondisi tubuhnya yang tidak sehat dan harus selalu mendapatkan transfusi darah.
Awalnya, Didin dan istrinya masih bisa membujuk Dini untuk tetap bersekolah. Malah ibunya sempat mengantar dan menjemputnya ke sekolah, karena ia tak mau masuk kelas. Hingga suatu saat, ia benar-benar mogok sekolah. "Dibujuk dengan cara apa pun Dini tidak mau bersekolah. Hingga akhirnya diputuskan untuk keluar. Namun, di rumah saya dan ibunya berusaha mengajarnya membaca dan menulis,” tutur Didin.