REPUBLIKA.CO.ID,KUPANG--Sekitar 24.000 imigran asal Timur Tengah yang kini berdomisili di Malaysia sebagai turis, sedang bersiap-siap menyeberang secara ilegal ke Australia melalui pulau-pulau kecil di Indonesia, termasuk di antaranya Nusa Tenggara Timur. "Hanya tunggu saat yang tepat saja baru mereka menyeberang secara ilegal ke Australia melalui pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia," kata Kasubdit III Bidang Tindak Pidana Umum Direskrim Polda NTT AKBP Lilik Apriyanto di Kupang, Kamis.
AKBP Apriyanto yang juga Kepala Unit Khusus Penyelundupan Manusia (smuggling) pada Satuan Tugas Penanganan Penyelundupan Manusia Polda NTT mengemukakan hal itu berkaitan dengan kasus terdamparnya 142 imigran gelap asal Timur Tengah di perairan dangkal sekitar Pulau Ndao, Kabupaten Rote Ndao, sekitar 40 mil dari Kupang, Minggu (3/4).
Para imigran asal Irak, Iran dan Afghanistan itu dievakuasi semuanya ke Kupang, dan saat ini dalam penanganan intensif oleh pihak Imigrasi Kupang. "Kami mengetahui adanya puluhan ribu imigran Timur Tengah di Malaysia itu, berdasarkan laporan dari petugas penghubung atau Liaison Officer (LO) Kepolisian Indonesia yang bertugas di Malaysia. Tujuan mereka hanya ke Australia, namun masih menunggu saat yang tepat untuk menyeberang ke negeri Kangguru itu," katanya.
Ia menjelaskan, Kepolisian Indonesia berkewajiban untuk menghalau masuknya para imigran Timur Tengah ke Australia, karena sudah ada perjanjian kerja sama (MoU) antara Kepolisian Federal Australia (AFP) dengan Kepolisian Indonesia (Polri) dalam penanganan masalah imigran gelap.
"Kita mendapat fasilitas berupa mobil dan peralatan pendukung lainnya bagi Polri dari Australia serta pembinaan SDM Polri ke arah profesionalisme dalam penanganan kasus-kasus sosial, sehingga berkewajiban untuk membendung masuknya imigran ke Australia," katanya.
Tidak boleh halau
Menurut dia, sesuai ketentuan hukum internasional, maka Indonesia sebenarnya tidak boleh menghalau masuknya para imigran tersebut ke Australia, karena Indonesia bukanlah merupakan negara tujuan mereka. "Namun, karena sudah adanya kerja sama tersebut maka kami (Polri) berkewajiban untuk menghalaunya agar tidak dituduh Australia telah melakukan proses pembiaran terhadap masuknya imigran ke nagara mereka," tambah Apriyanto.
Ia menjelaskan pilihan para imigran Timur Tengah ke Australia, karena di negeri Kangguru itu sudah banyak sanak-saudara mereka masuk menjadi warga negara Australia setelah menjalani proses naturalisasi. "Situasi inilah yang tampaknya mendorong para imigran Timur Tengah menyeberang ke Australia untuk mendapat penghidupan yang layak di negara tersebut," katanya.
Ia mengatakan dalam lima tahun terakhir, sudah tercatat lebih dari 1.000 warga negara Timur Tengah yang menyeberang secara ilegal ke Australia, namun berhasil diamankan aparat kepolisian di wilayah perairan NTT dengan menggunakan perahu-perahu milik nelayan setempat.
Sementara, dalam periode Januari sampai April 2011, tambahnya, sudah tercatat sekitar 341 imigran gelap asal Timur Tengah yang berhasil diamankan Polda NTT ketika hendak menyeberang ke Australia secara ilegal dengan menyewa perahu milik nelayan setempat. "Ada sindikat yang bermain di balik kasus penyelundupan manusia ini dengan memanfaatkan jasa para nelayan yang sudah biasa mengantar para imigran ke Australia, karena mudah untuk mendapatkan uang," ujarnya.
Para nelayan itu, kata Apriyanto, umumnya berasal dari Desa Oelaba dan Pepela di Pulau Rote yang biasa mencari ikan dan teripang di sekitar Pulau Pasir (ashmore reef) yang telah ditetapkan sebagai daerah cagar alam Australia. "Ketika para imigran tiba di Pulau Pasir, perahu yang mereka tumpangi itu kemudian dibakar atau dihancurkan, karena bagaimanapun akan diamankan oleh patroli Angkatan Laut Australia menuju ke tempat penampungan imigran di Pulau Natal (Christmas Island)," katanya.
Ia menambahkan setelah setahun atau lebih di tempat penampungan tersebut, para imigran gelap itu langsung menjalani proses naturalisasi sebagai warga negara Australia sesuai ketentuan UU yang berlaku di negara tersebut.