REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR – Bentrok massa dua desa di Kabupaten Bangli, Bali, Selasa (19/7), melengkapi rekor perkelahian antarwarga di daerah yang terkenal dengan sebutan Pulau Dewata itu. Kondisi ini bukan hanya tidak sejalan dengan kepentingan dunia pariwisata yang mendambakan kondisi aman dan nyaman, tapi juga sangat bertentangan dengan konsep Bali Mandara (aman, damai, dan sejahtera) yang dicanangkan Gubernur Bali, Made Mangku Pastika.
Perkelahian yang melibatkan ribuan massa, di daerah berhawa dingin yang terkenal dengan objek wisata Danau Batur-nya itu, juga melengkapi catatan "perang" antar warga di Bali. Sebelumnya dalam kurun waktu dua tahun terakhir, bentrok serupa telah terjadi di Kabupaten Gianyar, Kabupaten Badung, Kota Denpasar, Kabupaten Buleleng, Kabupaten Karangasem, dan Kabupaten Klungkung.
"Kegiatan pariwisata sangat rentan terhadan gangguan keamanan. Ribut sedikit saja, gaungnya bisa sampai ke luar negeri," kata Kadis Pariwisata Bali, Drs IB Subhiksu.
Perkelahian massal di Kabupaten Bangli, berawal dari perkelaian antar supporter sepak bola dua desa yang berbeda yakni dari Songan Kintamani dengan Banjar Kawan Bangli. Namun persoalannya begitu cepat meluas dan melibatkan warga desa lainnya, bahkan melibatkan warga banjar lainnya di Kecamatan Kota Bangli. Akibat bentrok massal itu, seorang warga Songan tewas dengan mengenaskan dan sejumlah orang luka-luka. Sementara polisi mengklaim telah memintai keterangan sejumlah saksi.
Bali sejak dulu terkenal sangat guyub, masyarakatnya terkenal sangat menghormati perbedaan dan menjunjung tinggi toleransi. Tetapi kini hampir di seluruh kabupaten, masyarakatnya memilih menyelesaikan masalah dengan adu fisik, dengah kekerasan. Bali terancam kehilangan predikatnya sebagai daerah percontohan dalam bertoleransi, dalam menjaga kerukunan bermasyarakat.
Pada Maret 2010 lalu, di Denpasar terjadi bentrok massa di jalan Nangka Utara. Penyebabnya karena dendam, karena sebelumnya, salah seorang warga ditusuk dengan pisau. Bentrok itu ditengarai sebagai perkelahian antar geng "preman", antar orang yang memang suka menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Tapi bentrok lainnya yang terjadi di Denpasar pada awal Maret lalu, justru karena masalah sepele, dimulai dengan saling ejek antar anak-anak muda dari desa yang berbeda melalui jejaraing facebook.
Sebagaimana bentrok yang terjadi di beberapa tempat lainnya, bentrok di Denpasar ini juga "menunggangi" kegiatan Nyepi. Yakni bentrok terjadi saat malam pengerupukan atau sehari menjelang pelaksanaan Nyepi. Memang bukan issu agama sebagai alasan, tetapi waktunya yang bersamaan dengan kegiatan ritual keagamaan, nuansanya menjadi berbeda.
Sementara itu pada April 2011 di Kabupaten Klungkung terjadi bentrok antar umat Islam yang tinggal di Banjar Lebah Semarapura, dengan tetangganya umat Hindu yang tinggal di Banjar Pande Semarapura. Sedangkan di Kabupaten Buleleng, tepatnya di Kecamatan Seririt, warga yang bertetangga di Pengastulan (Banjar Pala dan Banjar Kauman), yakni umat Hindu dan Muslim juga bentrok di awal tahun ini.
Bentrok massa tidak luput terjadi di Kabupaten Badung. Di pusat kegiatan parwisata Bali itu pada Oktober tahun lalu terjadi bentrok antar warga Banjar Cemangi dan warga Banjar Balai Agung di Kecamatan Mengwi. Sementara gara-gara penggunaan identitas kasta, di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, antar klan nyaris baku hantam.
Yang tak kalah serunya adalah bentrok massa di Desa Lemukih, Kecamatan Sawan, Buleleng, Bali. Bentrok ini dipicu oleh saling klaim kepemilikan tanah desa adat dan berlangsung berminggu-minggu. Selain saling bakar mebakar rumah, warga juga memblokade jalan dengan meletakkan batang pohon di tengah jalan. Salah seorang pimpinan polisi di Polres Buleleng, sepat disandera oleh salah satu kelompok yang tidak puas dengan jalan keluar yang ditawarkan.
Kabupaten yang hingga kini tergolong aman dari bentrok antar warga hanyalah Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Tabanan. Namun pada Juni tahun lalu, nelayan dari dua kabupaten itu saling serang di tengah laut. Nelayan asal Kabupaten Tabanan merasa berkeberatan, nelayan asal Kabupaten Jembrana beroperasi di wilayahnya, namun masalah itu cepat teratasi.
Konflik sosial merupakan sunnatullah atau sesuatu yang pasti terjadi. Dimana lawan yang dicari adalah lawan yang berada di lingkaran kebudayaan yang paling luar atau mereka yang paling longgar ikatan kekerabatannya. Namun bila kelompok terluar sudah tidak eksis lagi, maka musuh yang dicari semakin kedalam, termasuk mereka yang sekeyakinan namun tidak memilki hubungan kekerabatan atau hubungan kekerabatan yang lebih longgar.
Perkelahian di Bangli menggambarkan betapa hubungan kekerabatan itu sudah tidak terlihat lagi. Anak-anak muda yang menjadi pemicu konflik, menganggap masalah kekerabatan sudah tidak penting lagi, karena sejatinya, warga Kabupaten Bangli, satu sama lain saling terikat dalam hubungan kekerabatan itu. Bila kenyataannya bahwa kebanyakan orang Bali melupakan hubungan kekeluargaan mreka, maka ncaman "perang saudara" di Bali semakin hari akan semakin menjadi kenyataan.