REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur mengkritik pedas Mahkamah Agung (MA) yang tak kunjung menetapkan majelis hakim persidangan kasus Paniai berdarah. Isnur menuding MA terkesan tak serius menyidangkan kasus HAM berat itu.
Isnur mengungkapkan keheranannya mengenai sidang Paniai yang mundur dari jadwal pada 27 Juni. Alasannya lantaran belum ditetapkannya majelis hakim yang terdiri dari hakim karir dan hakim adhoc HAM.
"Ini bagian dari malaadministrasi, bagaimana pengadilan tidak siap dalam tangani perkara yang diajukan ke pengadilan. Ini bentuk ketidaksiapan MA tangani perkara HAM berat, sudah seharusnya MA stand by siapkan itu (hakim)," kata Isnur kepada Republika.co.id, Senin (4/7/2022).
Isnur menduga MA belum menyiapkan majelis hakim kasus Paniai karena tak menyangka ada kasus HAM berat yang akan disidangkan pada tahun ini. "Ketidaksiapan (MA) faktornya dua. Karena menganggap tidak serius dan menganggap tidak akan ada (kasus HAM berat). Kami khawatir dari awal tidak ada keseriusan MA untuk ini," ujar Isnur.
Ia juga mengamati lemahnya koordinasi antara MA dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait kasus Paniai. Padahal menurutnya, MA bisa menyiapkan majelis hakim sejak kasus itu masuk ke tahap penyidikan.
"Ini menandakan buruknya koordinasi antara Kejaksaan dengan MA. Harusnya sejak awal penyidikan ada pemberitahuan dong ke MA secara cepat bahwa ini akan diajukan. Jadi bukan kemudian disampaikan dadakan dan diujung," ujar Isnur.
Karena itu, YLBHI meminta MA tak menunda-nunda penetapan majelis hakim kasus Paniai. Ia menaruh harap bahwa persidangan ini dapat menghadirkan rasa keadilan, terutama bagi para korban dan keluarganya.
"Mendesak MA segera tunjuk hakim-hakim untuk sidangkan kasus HAM berat sesuai dengan UU agar keadilan segera tercapai, agar korban tidak lagi menunggu berlarutnya proses persidangan sehingga semakin jauh keadilan," tegas Isnur.
Diketahui, MA masih melakukan seleksi hakim ad hoc yang bakal menyidangkan perkara pelanggaran HAM berat Paniai 2014. Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Sobandi menjelaskan syarat pendaftar yaitu berusia 45-65 tahun, memiliki latar belakang hukum, dan berpengalaman di bidang hukum minimal selama 15 tahun.
Secara khusus MA mengharapkan kandidat hakim memiliki keahlian khusus tentang pelanggaran HAM berat atau hukum HAM internasional. "Jumlah pendaftar keseluruhan adalah 188 orang, terdiri dari 148 laki-laki, dan 40 perempuan," kata Sobandi kepada Republika.co.id, Ahad (3/7/2022).
Dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai ini, penyidik dari Kejagung menetapkan IS sebagai tersangka tunggal. IS adalah anggota militer yang menjabat sebagai perwira penghubung saat peristiwa Paniai Berdarah terjadi 2014.
Tersangka IS dituding bertanggung jawab atas jatuhnya empat korban meninggal dunia, dan 21 orang lainnya luka-luka dalam peristiwa demonstrasi di Paniai. Mengacu rilis resmi, tim penyidik, menjerat IS dengan sangkaan Pasal 42 ayat (1) juncto Pasal 9 huruf a, juncto Pasal 7 huruf b UU 26/200 tentang Pengadilan HAM.