REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa hukum Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Zainuddin Paru mengkritisi argumentasi yang selalu dikemukakan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa norma Pasal 222 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu adalah untuk memperkuat sistem presidensial. Menurutnya. argumentasi tersebut tidak ada dasar rasional.
"Alasan untuk memperkuat sistem presidensial dengan 20 persen itu juga tidak ada dasar rasional yang memberikan kita sebuah pijakan yang kuat untuk kemudian meyakini bahwa inilah jalan terbaik bagi proses untuk mengantarkan pemimpin bagi bangsa ini," kata Zainuddin dalam diskusi daring, Jumat (8/7/2022) malam.
Zainuddin mengatakan, presidensial merupakan sistem yang berlaku di Indonesia. Menurutnya, ada cara lain untuk memperkuat sistem presidensial tanpa harus membatasi partisipasi publik dengan presidential threshold 20 persen.
"Paling tidak mengikut alur apa yang menjadi pandangan mahkamah bahwa presidential threshold (tetap) ada, dan di sisi lain ada juga yang disebut sebagai dan selalu menjadi pokok utama dari pertimbangan mahkamah yang disebut sebagai open legal policy, bahwa permohonan-permohonan yang senantiasa tidak dapat diterima atau ditolak oleh MK dengan dasar yang sangat tegas MK mengatakan bahwa itu menjadi kewenangan para pembuat uu, atau open legal policy, dalam hal ini DPR.," jelasnya.
Namun, Zainuddin melihat terjadi anomali politik jelang Pemilu 2024 sehingga tidak ada perubahan UU Pemilu. Padahal sejak orde baru hingga reformasi, UU Pemilu selalu mengalami perubahan setiap kali akan menghadapi pemilu.
"Kita menghadapi pemilu tahun 2024 baik pileg maupun pilpres itu harus kembali menjadikan UU 7 Tahun 2017 sebagai dasar atau sebagai pijakan kita. Dalam hal ini, kita menghadapi sandungan besar dengan 20 persen itu," ujarnya
PKS diketahui sebelumnya mengajukan gugatan terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait PT 20 persen ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan diajukan oleh DPP PKS dan ketua majelis syuro PKS Salim Segaf Al-jufri.