REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil, mengomentari soal wacana legalisasi ganja medis. Nasir yang juga merupakan legislator asal dapil Aceh, memberikan sejumlah catatan terkait wacana tersebut.
"Upaya legalisasi ganja hanya boleh dilakukan untuk kepentingan medis. Itupun juga harus diikuti kesadaran hukum masyarakat," kata Nasir kepada Republika, Kamis (14/7/2022).
Selain itu upaya legalisasi ganja medis juga harus diseimbangi dengan tingkat pendidikan yang baik, serta integritas aparatnya. Mulai aparat penyelenggara pemerintahan maupun aparat penegak hukum.
"Saya menilai, dalam tahun ini akan ada keputusan soal legalisasi ganja untuk kepentingan medis tersebut," ujarnya.
Awal Juni lalu Komisi III menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait legalisasi ganja medis. Dalam RDPU tersebut Ketua Pembina Yayasan Sativa Prof Musri Musman mengatakan senyawa cannabidiol (CBD) dalam ganja tidak akan menimbulkan adiksi. CBD merupakan salah satu senyawa yang aktif yang terkandung di dalam ganja.
"Sudah ditemukan bukti bahwa pemberian 300 miligram, hingga 600 miligram per hari kepada para penderita celebral palsy tidak mendatangkan mabuk, tidak membahayakan. Tidak mendatangkan adiksi," kata Musri dalam RDP yang digelar Komisi III DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/6) lalu.
Selain bermanfaat untuk kesehatan tanaman ganja juga bisa memberikan manfaat ekonomi. Musri mengungkapkan manfaat ekonomi yang bisa didapat mencapai hingga Rp 34,8 triliun.
"Saya informasikan, bila seribu hektare area tanah yang tidak subur diberikan ke saya, maka saya akan bisa menghasilkan minyak cannabinois dengan total anggaran Rp 34,8 triliun satu tahun hasilnya," kata Musri. "APBD Aceh itu bisa disubsidi dengan seribu hektare tanah tadi," imbuhnya.