REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat hukum Univeritas Indonesia, Eva Achjani Zulfa, sepakat jika kasus dugaan korupsi izin alih fungsi dan pengelola perkebunan sawit, dengan tersangka Suryadi Darmadi, harus diselesaikan. Sekalipun sulit, namun upaya membawa pulang Suryadi dari Singapura harus diupayakan.
Melihat besarnya kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi ini, menurut Eva, Kejaksaan Agung bisa mencoba memulangkan Suryadi melalui upaya diplomatik lewat bantuan Mutual Legal Assistance (MLA) atau hubungan timbal balik untuk pengiriman tersangka di Singapura.
Sekalipun, Eva pesimistis cara ini bisa dipakai untuk memulangkan Suryadi. Mengingat pengalaman yang terjadi selama ini, cara ini lebih banyak mengalami kegagalan dibanding keberhasilannya. Terlebih melihat hubungan Indonesia dengan Singapura jika berurusan dengan perkara pelaku kejahatan Indonesia yang lari ke Singapura. “Tapi boleh juga dicoba," ungkapnya.
Dalam perkara tersangka yang seringkali kabur ke luar negeri, Eva melihat adanya dualisme kebijakan antara Kejaksaan dengan Kemenkum HAM.
Dijelaskannya, secara struktur kerja Kejaksaan bukan hanya sekadar penanganan perkara, tapi juga dalam fungsi inteligen. “Kejaksaan juga punya kewenangan dalam konteks itu,” kata Eva.
Otoritasnya ada di Kemenkum HAM tapi fungsi-fungsi yang menjalankan ada di Kejaksaan Agung. Dosen senior UI ini mencontohkan, dalam UU ekstradisi maupun UU tentang MLA central otoritasnya ada di Kemenkum HAM. "Sementara fungsi-fungsi itu yang menjalankan Kejaksaan Agung,” ungkap Eva.
Hal-hal ini, lanjut Eva, harus dipikirkan. Terlebih dengan Rancangan UU Aset Recovery. "Sebab harus jelas siapa yang memiliki otoritas, apakah di Kejakgung atau di Kemenkum HAM,” kata Eva. Alatnya ada di Kejaksaan tapi otoritasnya ada di Kemenkum HAM.
“Kasus ini (Darmaji, Red) hanya satu contoh dari kerja kelembagaan yang otoritasnya ada di beberapa institusi yang berbeda,” ungkap Eva.