REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Muhammad Kholid, merespons positif wacana kampanye politik di kampus. Menurutnya, wacana tersebut penting untuk melihat gagasan para calon pemimpin bangsa.
"Kan di kampus itu kebebasan berekspresi, kebebasan akademik, kebebasan untuk saling bertukar pandangan. Saya pikir kalau kandidat-kandidat itu dibedah pikirannya di kampus itu jauh lebih bagus, ya," kata Kholid di Kantor DPP PKS, Jakarta, Selasa (26/7/2022).
Kholid menilai, kampus tempat yang tepat untuk membedah pikiran, visi dan misi calon presiden dan wakil presiden. Namun, ia mengingatkan agar implementasinya nanti diatur dengan mekanisme yang beradab.
"Enggak masalah saya pikir, tentu dengan mekanisme di kampus yang punya kode etik dan aturannya itu seperti apa yang civilized, yang beradablah bagaimana metode kampanye atau metode politik di kampus, kan mereka punya kode etik sehingga saya kira ini wacana yang bagus untuk bagaimana membawa kampanye itu di kampus dengan cara akademik ilmiah," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari menegaskan bahwa kegiatan kampanye di lingkungan kampus diperbolehkan. Hasyim menjelaskan, Pasal 280 ayat 1 huruf H Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu melarang penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
"Pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan. Yang dilarang itu apa? Menggunakan fasilitas, bukan kampanyenya. Clear, ya?" kata Hasyim di Jakarta, Sabtu, (23/7/2022).
Hasyim menambahkan, penjelasan pasal tersebut menyebutkan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan dapat digunakan untuk kampanye politik jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu. Kampanye juga diperbolehkan atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
"Jadi, kampanye di kampus itu boleh. Dengan catatan apa? Yang mengundang misalkan rektor, pimpinan lembaga, boleh," ujarnya.
Namun, pihak kampus yang mengundang juga harus memperlakukan hak yang sama ke seluruh peserta pemilu. Mengenai apakah peserta pemilu memenuhi undangan itu atau tidak, hal tersebut diserahkan ke masing-masing peserta pemilu.
"Misalkan, kampus memberikan jadwal silakan tanggal 1 sampai 16, hari pertama partai nomor 1 dan seterusnya sampai 16, mau digunakan atau tidak kan terserah partai. Tapi, intinya, memberikan kesempatan yang sama," jelasnya.
Begitu juga pengaturan durasi dan frekuensi kampanye juga harus sama. Hasyim menjelaskan, durasi kampanye di kampus dibatasi maksimal hanya dua jam.
"Mau dikurangi satu jam boleh, tapi kalau lebih dari dua jam itu yang nggak boleh. Tapi, sekali lagi, inisiatifnya dari pemimpin kelembagaan atau pengelola fasilitas pemerintah tersebut," ucapnya.
Hasyim menuturkan, kampanye di lingkungan kampus penting dilakukan mengingat mahasiswa dan dosen memiliki hak suara untuk memilih. Dengan digelarnya kampanye di kampus, para akademisi bisa mengkritik janji kampanye yang dilontarkan para peserta pemilu.
"Wong mahasiswanya pemilih, dosen-dosennya juga pemilih, pengen tau dong siapa capresnya, siapa calon DPR nya, visi misinya kaya apa, apa janji-janjinya visi misinya untuk pengembangan dunia akademik kan perlu diketahui dan perlu di-challenge, perlu dipertanyakan, realistis nggak dalam durasi waktu tertentu itu menjanjikan kampanye seperti ini dan itu. Itu penting," terangnya.