Rabu 27 Jul 2022 18:56 WIB

Dokter: Virus Cacar Monyet yang Sekarang Beredar Mutasi Baru, Gejala Klinisnya Pun Berubah

Cacar monyet yang awalnya endemi di Afrika kini telah ditemukan di 75 negara.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Reiny Dwinanda
Foto yang dipasok CDC pada 1997 menunjukkan salah satu kasus cacar monyet di Republik Demokratik Kongo. Penyakit ini awalnya endemi di Afrika, namun kini telah ditemukan di 75 negara dengan tampilan klinis berbeda dari kasus-kasus terdahulu di Afrika..
Foto: CDC via AP
Foto yang dipasok CDC pada 1997 menunjukkan salah satu kasus cacar monyet di Republik Demokratik Kongo. Penyakit ini awalnya endemi di Afrika, namun kini telah ditemukan di 75 negara dengan tampilan klinis berbeda dari kasus-kasus terdahulu di Afrika..

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter penyakit dalam Robert Sinto mengungkapkan bahwa kasus cacar monyet yang saat ini menyebar berbeda jenis virusnya dengan cacar monyet yang dulu menjadi endemi di Afrika. Virus monkeypox sekarang telah mengalami mutasi.

"Laporan saat ini memang ada titik mutasi baru jika dibandingkan dengan tahun 2018-2019," kata Robert dalam konferensi pers virtual perkembangan monkeypox yang diikuti dari Youtube Kemenkes di Jakarta, Rabu (27/7/2022).

Baca Juga

Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal Nature Medicine, sekelompok peneliti asal Portugal menemukan ada rata-rata 50 mutasi dalam sampel dari 2022 dibandingkan dengan dengan 2018 hingga 2019. Mereka menulis bahwa tingkat mutasi yang ditemukan setelah melihat 15 sekuens virus monkeypox itu mungkin menunjukkan kasus evolusi yang semakin cepat.

Monkeypox kini telah ditetapkan sebagai darurat kesehatan global setelah ditemukan di 75 negara dengan total kasus 16 ribu lebih pasien. Menurut Robert, cacar monyet sebenarnya bukan penyakit baru seperti Covid-19, bahkan telah menjadi epidemi di negara Afrika dan sekitarnya sejak 1970.

Hanya saja, terdapat perbedaan tampilan klinis pada cacar monyet yang dilaporkan sejak Mei 2022 dengan jenis yang ditemukan di Afrika pada 1970. Robert mengatakan mutasi pada cacar monyet hingga menghasilkan varian dan subvarian baru memungkinkan bisa terjadi selama berkembang biak dalam inangnya.

Bahkan, setelah tiga bulan kasusnya dilaporkan, telah ditemukan kurang lebih 50 ribu titik baru mutasi cacar monyet. Kemungkinan itu bisa berkembang menjadi varian baru.

"Kalau dilihat, ada perbedaan, bisa jadi yang ini adalah varian baru hasil mutasi," kata dokter dari Rumah Sakit St Carolus Salemba, Jakarta ini.

Robert mengatakan hal itu tetap harus dilakukan penelitian lebih lanjut untuk pembuktian secara ilmiah. Sementara itu, berdasarkan studi terbaru dalam New England Journal of Medicine, wabah cacar monyet yang terjadi saat ini memunculkan beberapa gejala klinis baru.

Gejala klinis cacar monyet

Studi yang dilakukan oleh sekelompok klinisi internasional ini didasarkan pada 528 kasus cacar monyet yang terjadi di 43 situs. Data-data dalam studi ini dikumpulkan dalam periode 27 April - 24 Juni 2022.

Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, tim peneliti menemukan bahwa gejala-gejala cacar monyet pada wabah kali ini tampak mirip dengan gejala infeksi menular seksual (IMS). Kemiripan ini bisa dengan mudah memicu terjadinya kesalahan diagnosis.

Sebagai contoh, beberapa gejala baru yang ditemukan dalam wabah cacar monyet kali ini adalah munculnya lesi tunggal di area genital dan luka di area mulut, atau nyeri di area anus. Kemunculan lesi tunggal di area genital ditemukan pada satu dari 10 pasien, sedangkan 15 persen pasien mengalami keluhan nyeri pada anus atau rektum.

Gejala-gejala baru ini juga bisa membuat pasien mendapatkan penanganan yang tidak tepat. Pada sebagian pasien, munculnya gejala pada mulut dan anus membuat mereka dirujuk untuk mendapatkan perawatan pengelolaan rasa nyeri dan kesulitan menelan.

"Rangkaian kasus cacar monyet yang benar-benar mendunia ini memungkinkan dokter dari 16 negara untuk berbagi pengalaman klinis ekstensif mereka dan banyak foto klinis untuk membantu dokter lain di wilayah-wilayah yang memiliki sedikit kasus," jelas profesor di bidang pengobatan HIV dari Queen Mary University of London sekaligus direktur SHARE Collaborative, Chole Orkin, seperti dilansir Express, Senin (25/7/2022).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement